BAB 6 :
KOMPILASI TULISAN AL-QUR'AN
The
History of The Qur'anic Text hal 83 - 95
Meski Nabi Muhammad
telah mencurahkan segala upaya yang mungkin dapat dilakukan dalam
memelihara keutuhan Al-Qur'an, beliau tidak merangkum semua surah ke
dalam satu jilid, sebagaimana ditegaskan oleh Zaid bin Thabit dalam
pernyataannya,
"Saat Nabi
Muhammad wafat, Al-Qur'an masih belum dirangkum dalam satuan
bentuk buku."1 |
Di sini kita perlu
memperhatikan penggunaan kata 'pengumpulan' bukan 'penulisan'. Dalam
komentarnya, al-Khattabi menyebut, "Catatan ini memberi isyarat akan
kelangkaan buku tertentu yang memiliki ciri khas tersendiri.
Sebenarnya, Kitab Al-Qur'an telah ditulis seutuhnya sejak zaman Nabi
Muhammad. Hanya saja belum disatukan dan surah-surah yang ada juga
masih belum tersusun."2
Penyusunan Al-Qur'an dalam satu jilid utama (master volume)
boleh jadi merupakan satu tantangan karena nasikh mansukh yang
muncul kemudian dan perubahan ketentuan hukum maupun kata-kata dalam
ayat tertentu memerlukan penyertaan ayat lain secara tepat. Hilangnya
satu format halaman akan sangat merendahkan penyertaan ayat-ayat yang
baru serta surahnya karena wahyu tidak berhenti untuk beberapa
saat sebelum Nabi Muhammad wafat. Dengan wafatnya Nabi Muhammad
berarti wahyu berakhir untuk selamanya. Tidak akan terdapat ayat
lain, perubahan hukum, serta penyusunan ulang. Ini berarti kondisi itu
telah mapan dalam waktu yang tepat guna memulai penyatuan Al-Qur'an ke
dalam satu jilid. Tidak ada keraguan yang dirasakan dalam pengambilan
keputusan dan kebijaksanaan dan bahkan telah memaksa masyarakat
mempercepat pelaksanaan tugas ini. Allah swt. memberi bimbingan para
sahabat dalam memberi pelayanan terhadap Al-Qur'an sebagaimana
mestinya memenuhi janji pemeliharaan ' selamanya terhadap Kitab-Nya,
"Sesungguhnya kamilah yang menurunkan Al-Qur'an, dan
sesungguhnya kami benar-benar memeliharanya."3 |
1.
Kompilasi AI-Qur'an Semasa Kekuasaan Abu Bakr
i. Penugasan Zaid bin Thabit dalam
Mengompilasikan Al-Qur'an
Zaid
melaporkan,
Abu Bakr memanggil saya setelah terjadi
peristiwa pertempuran al-Yamama yang menelan korban para sahabat
sebagai shuhada. Kami melihat saat 'Umar ibnul Khattab
bersamanya. Abu Bakr mulai berkata," 'Umar baru saja tiba menyampaikan
pendapat ini, 'Dalam pertempuran al-Yamama telah menelan korban begitu
besar dari para penghafal Al-Qur'an (qurra'),4
dan kami khawatir hal yang serupa akan terjadi dalam peperangan lain.
Sebagai akibat, kemungkinan sebagian Al-Qur'an akan musnah. Oleh
karena itu, kami berpendapat agar dikeluarkan perintah pengumpulan
semua Al-Qur'an." Abu Bakr menambahkan, "Saya katakan pada 'Umar, 'bagaimana
mungkin kami melakukan satu tindakan yang Nabi Muhammad tidak pernah
melakukan?' 'Umar menjawab, 'Ini merupakan upaya terpuji terlepas dari
segalanya dan ia tidak berhenti menjawab sikap keberatan kami sehingga
Allah memberi kedamaian untuk melaksanakan dan pada akhirnya kami
memiliki pendapat serupa. Zaid! Anda seorang pemuda cerdik pandai, dan
anda sudah terbiasa menulis wahyu pada Nabi Muhammad, dan kami tidak
melihat satu kelemahan pada diri anda. Carilah semua Al-Qur'an agar
dapat dirangkum seluruhnya." Demi Allah, Jika sekiranya mereka minta
kami memindahkan sebuah gunung raksasa, hal itu akan terasa lebih
ringan dari apa yang mereka perintahkan pada saya sekarang. Kami
bertanya pada mereka, 'Kenapa kalian berpendapat melakukan sesuatu
yang tidak pernah dilakukan oleh Nabi Muhammad?' Abu Bakr dan 'Umar
bersikeras mengatakan bahwa hal itu boleh-boleh saja dan malah akan
membawa kebaikan. Mereka tak henti-henti menenangkan rasa keberatan
yang ada hingga akhirnya Allah menenangkan kami melakukan tugas itu,
seperti Allah menenangkan hati Abu Bakr dan 'Umar.5
Setelah diberi
keyakinan Zaid dapat menerima tugas berat sebagai pengawas komisi,6
sedang 'Umar,
sahibul fikrah,
bertindak sebagai
pembantu khusus.
ii. Jati Diri Zaid bin Thabit
Sejak usianya di awal
dua puluh-tahunan, di masa itu, Zaid diberi keistimewaan tinggal
berjiran dengan Nabi
Muhammad dan bertindak sebagai salah seorang penulis wahyu yang amat
cemerlang. Dia salah satu di antara para
huffaz
clan karena kehebatan jati diri
itulah yang mengantarnya sebagai pilihan
mumtaz
untuk melakukan tugas tersebut.
Abu Bakr
as-Siddiq mencatat kualifikasi dirinya sebagai berikut:
-
Masa muda Zaid
menunjukkan vitalitas dan kekuatan energinya.
-
Akhlak yang tak
pernah tercemar menyebabkan Abu Bakr memberi pengakuan secara khusus
dengan kata-kata, 'Kami tak pernah memiliki prasangka negatif pada
anda.'
-
Kecerdasannya
menunjukkan pentingnya kompetensi dan kesadaran.
-
Pengalamannya di
masa lampau sebagai penulis wahyu.7
-
Satu catatan
tambahan dari saya (pengarang) tentang kredibilitasnya, Zaid salah
seorang yang bernasib mujur di antara beberapa orang sahabat yang
sempat mendengar bacaan Al-Qur'an Malaikat Jibril bersama Nabi
Muhammad di bulan Ramadan.8
iii. Instruksi Abn Bakr terhadap Zaid bin Thabit
Izinkan kami sejenak
memberi ulasan singkat tentang satu masalah
yang pernah
dikemukakan di hadapan Abu Bakr semasa menjadi
khalifah.
Sekali waktu seorang nenek menghadap
minta penjelasan tentang hak waris dari seorang cucu
yang telah meninggal
dunia. Beliau menjawab bahwa bagian seorang nenek dari cucu tidak
disebut dalam Al-Qur'an dan tidak pula beliau ingat bahwa Nabi
Muhammad pernah memberi penjelasan akan hal itu. Dengan minta
konfirmasi para hadirin, Abu Bakr menerima jawaban al-Mughira yang,
saat itu, berdiri mengatakan bahwa beliau hadir saat Nabi Muhammad
mengatakan bahwa bagian seorang nenek adalah satu per enam (1/6). Abu
Bakr bertanya pada yang lain barangkali ada orang yang tak sepaham
dengan al-Muhgira di mana Muhammad bin Maslama menegaskan secara pasti.
Guna menyelesaikan tanpa sikap keragu-raguan, ini berarti
Abu Bakr pernah
minta pengesahan sebelum berbuat sesuatu terhadap penjelasan
al-Mughira.9 Dalam hal ini Abu Bakr (dan seterusnya
'Uthman seperti
hendak kita lihat), semata-mata mengikuti perintah Al-Qur'an mengenai
kedudukan para saksi:
"Hai orang-orang yang beriman,
apabila kamu bermuamalah tidak secara tunai untuk waktu yang
ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. ... Dan persaksikanlah
dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki di antaramu. Jika
tak ada dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua
orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika
orang lupa maka seorang lagi mengingatkannya. Janganlah
saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka
dipanggil.... "10 |
Hukum kesaksian
memainkan peranan penting dalam kompilasi AI-Qur'an (juga dalam metode
ilmu hadith), dan merupakan bagian penting dari instruksi
Abu Bakr
pada Zaid bin Thabit. Ibn Hajar melanjutkan,
"Abu Bakr mengatakan pada 'Umardan Zaid, "Duduklah di depan pintu gerbang Masjid
Nabawi. Jika ada orang membawa (memberi tahu) anda tentang
sepotong ayat dari Kitab Allah dengan dua orang saksi, maka tulislah."11 |
Ibn Hajar memberi
komentar tentang apa yang dimaksud oleh Abu Bakr perihal saksi:
Sepertinya apa yang
dimaksud dengan dua saksi berkaitan erat dengan hafalan yang diperkuat
dengan bukti tertulis. Atau, dua orang memberi kesaksian bahwa ayat
Qur'an telah ditulis di hadapan Nabi Muhammad. Atau, berarti agar
mereka memberi kesaksian bahwa ini merupakan salah satu bentuk yang
mana Qur'an diwahyukan.
Tujuannya
adalah agar menerima sesuatu
yang telah
ditulis di hadapan Nabi Muhammad bukan semata-mata berlandaskan pada
hafalan seseorang saja.12
Saya lebih cenderung
menerima pendapat kedua menyangkut penerimaan materi (ayat Al-Qur'an)
berdasarkan bukti sumpah di hadapan dua orang saksi lain bahwa mereka
telah menulis ayat di depan Nabi Muhammad. Pendapat ini diperkuat oleh
pendapat Ibn Hajar yang mana "Zaid tidak mau menerima sesuatu materi
tulisan yang akan dapat dipertimbangan kecuali dua orang sahabat
menyaksikan bahwa orang itu menerima ayat Al-Qur'an seperti
diperdengarkan oleh Nabi Muhammad sendiri."13
Menurut pendapat
Profesor Shauqi Daif, Bilal
bin Rabah jalan-jalan mengelilingi
kota Madinah melakukan pengecekan tiap sahabat
yang hadir dan
memiliki ayat-ayat Al-Qur'an yang ia tulis setelah menerima apa yang
diperdengarkan oleh Nabi Muhammad sendiri.14
iv. Cara Zaid bin Thabit Menggunakan Materi
tulisan Al-Qur'an
Cara yang biasa
dipakai dalam menyatukan naskah agar seorang perumus kalimat (editor)
mengadakan perbandingan dengan naskah lain dari hasil kerja yang sama
kendati, biasanya tidak semua naskah memiliki nilai yang setaraf.
Dalam memberi penjelasan terhadap tingkatan naskah yang paling dapat
di pertanggungjawabkan dengan
yang tak memiliki harga nilai, Bergstraser membuat
beberapa ketentuan penting sebagai berikut,
-
Naskah yang lebih
awal biasanya lebih dapat terjamin dan tepercaya dari naskah yang
muncul kemudian.
-
Naskah yang sudah
diubah dan dibetulkan oleh penulis melalui proses perbandingan
dengan naskah induk, lebih tinggi tingkatannya dari
manuskrip-manuskrip yang tidak ada perubahan.15
-
Jika naskah asli
masih ada, naskah lain yang ditulis dari naskah itu akan hilang
nilainya.16
Blachere dan Sauvaget
kembali menegaskan tentang poin ketiga: Jika naskah asli masih
terdapat di tangan pengarang, atau salah satu naskah
yang telah mengalami
perubahan masih ada, maka nilai naskah-naskah lain akan dinafikan17
Demikian juga, tidak adanya naskah asli dari seorang pengarang,
duplikat lain, dengan adanya naskah induk, hendaknya dibuang dan tidak
dipertimbangkan.
Gambar 6. 1: Garis pohon untuk
sebuah teks tulisan pengarang
Anggaplah urutan
manuskrip mengikuti skema pohon seperti di atas. Pertimbangkan dua
dari sistem skenario yang ada:
-
Katakanlah
bahwa penulis naskah asli hanya menghasilkan satu edisi buku di mana
tidak ada edisi kedua atau perubahan pada edisi pertama. Maka ketiga
naskah berikut tidak termasuk:
(1). Buku yang ditulis
sendiri (seluruh naskah yang ditulis oleh pengarang), (2). Satu
manuskrip yangditulis
dari naskah pengarang ash misalnya ditulis oleh A); dan (3) manuskrip
lain yang muncul kemudian (mungkin ditulis oleh L). Maka sangat jelas
bahwa yang kedua dan ketiga dianggap tak ada gunanya clan tidak dapat
dipertimbangkan sewaktu mengadakan penyuntingan dari naskah yang ada,
karena tak ada di antara mereka yang memiliki tingkatan yang sama
dengan naskah asli tulisan tangan dari pengarang pertama.
-
Satu lagi, andaikan
ada satu edisi buku. Kemudian naskah tulisan ash bagaimanapun tidak
ditemukan, penyunting harus memakai tiga manuskrip lain. Dua
manuskrip ditulis oleh murid-murid si pengarang asli, kita sebut
saja A dan B. Manuskrip ketiga X dikopi dari B. Maka X di sini tidak
ada harganya. Penyunting harus berdasarkan seluruhnya kepada A dan
B, dan tidak boleh membuang salah satu darinya karena kedua-duanya
mempunyai nilai yang sama.
Demikianlah
prinsip-prinsip penting kajian kritis naskah dan edisi penerbitan yang
dikembangkan oleh pihak orientalis di abad kedua puluh. Ternyata empat
belas abad yang silam, Zaid telah melakukan kegiatan persis seperti
teori yang mereka buat. Sejak Nabi Muhammad menapakkan kaki di bumi
Madinah, adalah merupakan titik permulaan kegiatan intensif penulisan.
Banyak di antara para sahabat memiliki ayat-ayat Al-Qur'an yang mereka
salin dari kertas kulit milik kawan-kawan serta para jiran. Dengan
membatasi terhadap ayat-ayat yang disalin di bawah pengawasan Nabi
Muhammad, Zaid meyakinkan bahwa semua materi yang beliau teliti
memiliki tingkatan yang sama dan hal yang demikian memberi jaminan
mutlak atas ketelitian yang dicapai. Setelah menghafal Al-Qur'an dan
menulis banyak semasa duduk bersama Nabi Muhammad, ingatan atau
hafalan Zaid hanya dapat dikomparasikan dengan materi yang sama, bukan
dengan naskah kedua atau ketiga.18
Maka arti itu, sikap keras Abu Bakr, `Umar dan Zaid atas materi dari
tangan pertama dengan dua orang saksi dimaksudkan agar memberi
dukungan anggapan dan guna memberi jaminan ada status yang sama. Di
dorong oleh semangat yang meluap dari para pelakunya proyek tersebut
berkembang menjadi upaya sebenarnya yang dilakukan oleh masyarakat:
-
Kalifah Abu Bakr
mengeluarkan undangan umum (atau seseorang dapat dianggap sebagai
dekrit) guna memberi peluang pada setiap orang yang mampu untuk ikut
berpartisipasi.
-
Proyek tersebut
dilakukan di dalam masjid Nabi Muhammad, sebagai .pusat berkumpul.
-
Dalam memberi
respons terhadap instruksi seorang khalifah, 'Umar berdiri di depan
pintu gerbang masjid mengumumkan pada setiap orang
yang memiliki tulisan
ayat Al-Qur'an yang dibacakan oleh Nabi Muhammad agar membawanya ke
masjid. Bilal juga mengumumkan hal yang sama ke seluruh lorong jalan
jalan di
kota Madinah.
v. Zaid bin Thabit
Memanfaatkan Sumber Hafalan
Ini kelihatan jelas
bahwa perhatian ditumpukan kepada ayat
yang tertulis, sumber
utama tulisan yang ditemukan-baik di atas kertas kulit, papan-papan
kayu, atau daun-daun (
) dst.-tidak hanya diverifikasi dengan hanya
melalui tulisan-tulisan yang lainnya saja tetapi juga melalui hafalan
para sahabat yang belajar langsung dari Nabi saw. Dengan meletakkan
dasar-dasar persyaratan yang begitu ketat dalam penerimaan baik dari
segi tulisan maupun hafalan, maka kesamaan status akan lebih terjamin.
Dalam keadaan apa
pun Zaid
bin Thabit selalu merujuk pada hafalan orang lain: "Al-Qur'an saya
kumpulkan dari berbagai bentuk kertas kulit, potongan tulang, dan dari
dada para penghafal." Dalam hal ini az-Zarakhasi memberi ulasan,
Keterangan ini telah
menyebabkan kalangan tertentu menganggap bahwa tak ada seorang
pun yang hafal
seluruh Al-Qur'an pada zaman kehidupan Nabi Muhammad. Melihat anggapan
Zaid bin Thabit dan Ubayy bin Ka'b yang seperti itu, maka anggapan di
atas tidak dapat dipertahankan dan, hal ini merupakan sebuah
kekeliruan. Apa yang dimaksud Zaid pada dasarnya ia hanya mencari
ayat-ayat tertulis dari berbagai sumber yang masih tercecer untuk
dicocokkan dengan apa yang telah dihafal - para huffaz. Dengan cara
demikian, tiap orang berpartisipasi dalam proses pengumpulan. Tak ada
orang siapa pun yang memiliki sebagian ayat kemudian tak
diikutsertakan. Demikian juga tak seorang pun memiliki alasan untuk
menyatakan sikap prihatin tentang ayat-ayat yang dikumpulkan dan tak
seorang pun melakukan komplain bahwa naskah yang dikumpulkan hanya
dari beberapa pilihan orang tertentu.19
Ibn Hajar memberi
perhatian secara khusus terhadap keterangan
yang diberikan Zaid, "Saya
dapati dua ayat terakhir dalam Surah al-Bara'ah hafalan ada pada Abu
Khuzaima al-Ansari," membuktikan bahwa tulisan yang ada pada Zaid
serta hafalannya dianggap tidak mencukupi. Segala sesuatunya memerlukan
pengesahan.20
Lebih lanjut
In Hajar mengatakan,
Abu Bakr tidak memberi wewenang
padanya agar menulis
kecuali apa yang telah tersedia dalam bentuk tulisan berupa
kertas kulit. Itu adalah sebab utama Zaid tidak mau memasukkan
ayat terakhir dari Sarah al-Bara'ah sebelum ia sampai dengan
membawa bukti suatu ayat yang telah tertulis (dalam bentuk
tulisan), kendati ia mempunyai banyak sahabat yang dengan mudah
untuk dapat mengingat kembali secara tepat dari hafalan mereka.
|
vi. Keaslian Al-Qur'an: Masalah Dua Ayat
Terakhir Surah Bara'ah
Kata-kata tawatur (
) merupakan ungkapan umum dalam
lexicon Islam. Misalnya, Al-Qur'an
telah dialihkan melalui kata mutawatiratau naskah tertentu dibangun
dengan sistem mutawatir. Kata tawatur ditujukan pada pengumpulan
informasi dari berbagi sumber dan perbandingan di mana jika sebagian
besar menyetujui suatu bacaan, maka hal yang demikian memberi
keyakinan akan keaslian bacaan itu sendiri. Selama tidak ada
kesepakatan ilmiah tentang jumlah saluran atau perorangan yang
diperlukan dalam mencapai tingkat tawatur, masalah utamanya adalah
bagaimana mendapatkan ketentuan mutlak dan persyaratan untuk mencapai
tujuan ini boleh jadi berbeda menurut ruang, waktu, serta lingkungan
yang ada. Para ilmuwan
biasanya tetap berpegang pada pendapat bahwa sekurang-kurangnya mesti
terdapat setengah lusin sumber riwayat
yang lebih dikehendaki
di mana dengan adanya jumlah yang lebih besar kemungkinan pemalsuan
akan semakin mengecil dan lebih rumit.
Kembali pada
Sarah al-Bara'ah,
di , mana dua ayat terakhir diberi pengesahan dan dimasukkan ke
dalam mushaf, semata-mata berdasar atas kulit kertas dari Khuzaimah (serta
saksi-saksi yang jadi kemestian), yang diperkuat dengan hafalan Zaid
bin Thabit dan beberapa huffaz lainnya. Akan tetapi dalam hal kualitas
sebagai kitab Al-Qur'an, bagaimana kita dapat menerima satu naskah
kulit kertas dan beberapa hafalan para sahabat sebagai alasan tawatur
yang dapat diterima? Anggaplah, jika dalam ruangan kelas berukuran
kecil di depan dua atau tiga mahasiswa seorang guru besar membaca
sebuah
sya'ir pendek dari hafalannya dan setelah itu langsung tiap
orang menanyakan beberapa mahasiswa tentang itu. Jika bacaan mereka
sama, maka, kita memiliki kepastian secara mutlak bahwa hal itu
seperti apa yang diajarkan sang guru besar.
Sama juga halnya
dengan ayat-ayat atau sumber-sumber
yang ditulis dan
dihafal, dengan syarat tidak ada kolusi di antara mereka (pemain), dan
ini apa yang saya gambarkan secara empiris dalam kelas tadi. Begitu
juga dengan masalah Surah al-Bara'ah di mana tidak ada
perselisihan tentang sumber-sumber yang ada, walaupun ada perselisihan
itu relatif sangat kecil, menjadikan dasar yang cukup memadai untuk
kepastian. Dan guna meng-counter kekhawatiran konspirasi terdapat
argumentasi logis: kedua ayat tersebut tidak memiliki sesuatu yang
baru secara teologis, tidak membicarakan tentang sebuah pemujaan
famili tertentu, dan tidak pula memberi informasi tentang sesuatu yang
tak terdapat dalam Al-Qur'an. Adanya konspirasi menciptakan ayat-ayat
seperti itu sangat tidak masuk akal karena tidak ada kepentingan yang
tampak yang mungkin lahir dari upaya pemalsuan.22
Dalam suasana seperti ini di mana Allah swt.
secara pribadi menjamin sikap kejujuran para sahabat terhadap Kitab
Suci-Nya, maka kita dapat menarik kesimpulan akan adanya tawatur yang
cukup dalam menentukan keputusan akhir ayat-ayat tersebut.
vii. Penyimpanan Suhuf dalam
Arsip Kenegaraan
Setelah tugas
terselesaikan, kompilasi Al-Qur'an disimpan dalam arsip kenegaraan di
bawah pengawasan
Abu Bakr.23
Kontribusinya seperti yang kita dapat simpulkan adalah penyatuan
fragmentasi Al-Qur'an dari sumber pertama, kemudian ia menjelajah ke
seluruh
kota Madinah dan menyusunnya untuk transkripsi penulisan ke dalam satu
jilid besar (master volume). Kompilasi ini disebut dengan istilah
suhuf. la
merupakan kata jamak suhuf (
: secara literal artinya, keping
atau kertas) dan saya percaya ini mempunyai arti yang berbeda dengan
kata tunggal Mushaf yang sekarang menunjukkan sebuah naskah tulisan
Al-Qur'an).
Sebagai kesimpulan,
segala upaya Zaid adalah penyusunan semua surah dan ayat secara tepat,
dan kemungkinan besar sebagai seorang putra Madinah dia menggunakan
script dan ejaan Madinah yang umum atau konvensional (Tetapi
tampaknya ukuran kepingan-kepingan kertas yang
digunakan untuk
menulis Al-Qur'an tidak sama sehingga menjadikan tumpukan kertas itu
tidak tersusun rapi. Oleh karena itu, dinamakan Suhuf Hanya
lima belas tahun
kemudian, saat Kalifah 'Uthman berupaya mengirim naskah-naskah
Al-Qur'an ke pelbagai wilayah kekuasaan umat Islam dari hasil
kemenangan militer telah memperkuat tersedianya kertas kulit bermutu
tinggi dan ia mampu memproduksi kitab Al-Qur'an dalam ukuran kertas
yang sama yang kemudian lebih dikenal sebagai
Mushafs.
2. Peranan `Umar dalam
Pengenalan Kitab Suci AI-Qur'an
Dengan menunjuk 'Umar
sebagai penerus khalifah, setelah
Abu Bakr wafat di atas
tempat tidur, sebelumnya dia telah memberi kepercayaan terhadap
penerusnya tentang mushaf-mushaf yang ada.24 Di
samping adanya berbagai kemenangan dalam pertempuran yang menentukan,
'kekuasaan 'Umar diwarnai pengembangan Al-Qur'an secara pesat
melintasi batas semenanjung Arab. Beliau mengutus sekurang-kurangnya
sepuluh sahabat ke Basra guna mengajarkan Al-Qur'an,25
demikian pula ia mengutus Ibn Mas'ud ke Kufa.'26
Ketika 'Umar diberitahukan tentang adanya orang lain di Kufa yang
mendiktekan Al-Qur'an pada masyarakat melalui hafalan, 'Umar naik
pitam seperti kegilaan. Saat menemukan orang tersebut yang tidak lain
adalah Ibn Mas'ud, beliau ingat akan kemampuannya, kemudian merasa
tenang dan dapat meredam kembali sikap emosinya.
Berita penting lainnya
adalah mengenai pengenalan ajaran Al-Qur'an di Suriah. Yazid
bin Abu Sufyan,
penguasa Suriah, mengadukan masalah pada 'Umar tentang orang-orang
Muslim yang memerlukan pendidikan Al-Qur'an dan juga
keislaman. la mendesak agar 'Umar dapat mengutus para dosen, kemudian
'Umar memilih tiga orang sahabat melakukan tugas tersebut yang
masing-masing terdiri dari Mu'adh, 'Ubada, dan Abu Darda. 'Umar
meminta mereka untuk terus menuju Hams yang setelah mencapai tujuan,
salah satu dari mereka agar pergi ke Damaskus dan tempat lain di
Palestina. Saat penduduk setempat merasa puas dengan tugasnya di Hims,
Abu ad-Darda' meneruskan perjalanan ke Damaskus, sedangkan Mu'adh ke
Palestina dengan meninggalkan 'Ubada di belakang. Mu'adh meninggal
dunia setelah itu dan Abu ad-Darda' tinggal di Damaskus beberapa
waktu lamanya dan dapat membuat halaqah yang sangat masyhur
dengan mahasiswa asuhannya melebihi 1600 orang.27
Dengan membagi murid-murid ke dalam sepuluh kelompok, ia menugaskan
seorang instruktur secara terpisah pada tiap kelompok dan melakukan
inspeksi keliling dalam memantau kemajuan mereka. Bagi mereka
yang telah lulus
tingkat dasar, dapat mengikuti bimbingan langsung beliau agar murid
yang lebih tinggi tingkatnya merasa lebih terhormat belajar bersama
Abu ad-Darda' dan berfungsi sebagai guru tingkat menengah.28
Metode
yang sama dipraktikkan
di tempat lain, Abu Raja' al-Ataradi menyatakan bahwa Abu Musa al-Ash'ari
membagikan murid-murid ke beberapa kelompok di dalam Masjid Basra,29
dalam bimbingannya yang hampir mencapai 300 orang.30
Di ibu kota, `Umar
mengutus Yazid
bin 'Abdullah bin Qusait untuk mengajar AI-Qur'an di
kalangan orang Badui,31
dan melantik Abu Sufyan sebagai inspektur untuk suku mereka agar
mengetahui sejauh mana mereka sudah belajar.32
Dia juga menunjuk tiga sahabat yang lainnya di Madinah untuk mengajar
anak-anak dengan setiap orangnya digaji lima belas dirham per bulan,33
dan setiap murid (termasuk orang dewasa) dinasihati untuk diajarkan
lima ayat yang mudah.34
Setelah ditikam oleh
Abu
Lu'lua (seorang hamba sahaya Kristen dari Persia)35
di akhir tahun 23 hijrah, `Umar menolak untuk menunjuk seorang
khalifah, dan membiarkannya kepada masyarakat untuk memilihnya dan
pada waktu itu Suhuf diamanahkan kepada Hafsa, mantan istri Nabi
Muhammad saw..
3. Kesimpulan
Pengabdian
Abu Bakr sendiri
terhadap AI-Qur'an sangat mengagumkan, dia sangat memperhatikan
instruksinya tentang dua saksi untuk membangun otentisitas,36
dan mempraktikkan peraturan ini dalam kompilasi AI-Qur'an itu sendiri.
Walhasil, walaupun ditulis di atas kertas yang tidak sempurna dan
berbeda ukuran, ini telah menunjukkan keikhlasan dalam usahanya
semampu mungkin untuk memelihara Al-Qur'an (kalamullah).
Kemenangan yang berarti
melebihi batas padang
pasir
Arab mendorong kemajuan pendidikan Islam sampai ke Palestina dan
Suriah; Pemerintahan 'Umar telah mengembangkan sekolah-sekolah untuk
menghafal Al-Qur'an di dua negeri
padang pasir kering dan tanah bulan
sabit
yang subur dan kaya. Tetapi perhatian pada zaman khalifah 'Uthman dan
usaha-usaha Zaid bin Thabit sebagai orang yang memulai
mengkompilasikan Al-Qur'an dan tidak berhenti dengan wafatnya Abu Bakr.
1. Ibn Hajar, Fathul Bari,
ix: 12; Lihat juga al-Bukhari, Sahih, Jami' Al-Qur'an,
hadith.4986.
2. As-Suyuti, al-Itqan,
i:164.
3. Qur'an 15:9
4. Qurra' (lht. pembaca-pembaca)
adalah istilah yang biasa dipakai untuk para hufiaz, Mereka
orang-orang yang hafal Al-Qur'an. Qurra' dengan ketakwaannya
selalu berada dalam barisan paling depan pada waktu perang dan
banyak yang mati dibanding dengan tentara-tentara biasa.
5. Al-Bukhari, sahih,
Jam'i
Al-Qur'an,
hadith, no. 4986; lihat juga Ibn Abi Dawud,
al-Masahif,
6. Lihat Ibn Abi Dawud al-Masahif,
hlm. 6.
7. Lihat al-Bukhari, Sahih,
Jam'i AI-Qur' an, hadith no. 4986; Ibn Abi Dawud, al-Masahif,
hlm. 8.
8. Tahir al-Jaza'iri, at-
Tibyan, hlm. 126; Lihat juga A. Jeffery (ed.), al-Mabani,
hlm. 25.
9. Malik, al-Muwatta',
al-Fara'id: 4, hlm. 513.
10. Qur'an 2: 282,
Perintah menggantikan dua orang perempuan untuk satu orang lelaki
mungkin dikarenakan perempuan kurang biasa dengan proses perdagangan
secara umum. Lihat Muhammad Asad, Terjemahan AI-Qur' at, Surah 2,
catatan kaki 273.
11. Ibn Abi Dawud,
al-Mashafi, hlm. 6. Lihat juga Ibn Hajar, Farhul Bari, ix:
14.
12. Ibn Hajar, Fathul Bari,
ix: 14-15.
13. Ibn Hajar, Fathul Bari,
ix: 14.Sumber lihat al-Bukhari, Sahih, hadith no.
4986;
14. Shauqi, Daif, Kitab as
Sab'a of/bn Mujahid, Pendahuluan hlm. 6.
15. Bergstasser, Usul
Naqd an-Nusus wa Nashr al-Kutub (in Arabic), Kairo, 1969,
hlm. 14.
16. Ibid, hlm. 20.
17. R. Blachcre dan J.
Sauvaget, Regles pour editions et traductions de textes
arabes. Diterjemahkan ke dalam bahasa Arab oleh al-Miqdad,
hlm. 47.
18. Dalam membuat (penyuntingan)
satu teks, secara akademik perbandingan di antara derajat
manuskrip
19. Az_Zarkahshi,
Burhan, i:238-239.
20. Ibn Hajar,
Fathul Bari, iv: 13.
21. Ibid., ix: 13.
22. Lihat hlm. 323-4 untuk
contoh pemalsuan di mana alur ayat yang mengandung kepentingan
teologi.
23. Al-Bukhari, Sahih,
Fada'il AI-Qui an 3; Abu `Ubaid, Fa,da'il, hlm. 281; at-Tirmidhi,
Sunan, had7th no. 3102.
24. Abu 'Ubaid, Fada'il,
h1m.281.
25. Lihat ad-Darimi, Sunan,
i:135, diedit oleh Dahman.
26. Ibn Sa'ad, Tabaqat,
vi:3.
27. Adh-Dhahabi, Seyar
al-A'lam an-Nubala, ii:344-46
28. Ibid, ii:346.
29. Al-Baladhuri,
Ansab al-Ashraf, I:110; Ibn Durais, Fada'il, hlm. 36;
al-Hakim, al-Mustadrak,
ii: 220
30. Al_Faryabi, Fada'il,
AI-Qur'an, hlm. 129
31. Ibn al-Kalbi,
Thamhrat an-Nasab, hlm. 143; Ibn Hazm, Thamhrat al-Ansab,
hlm. 182.
32. Ibn Hajar, al-Isabah,
i:83, no. 332.
33. Al_gaihaqi, Sunan
al-Kubra, vi: 124.
34. Ibn Kathir, Fada'il,
vii:495.
35. William Muir,
Annals of the Early Caliphate, hlm. 278.
36. Qur'an, 2:282.
|
|