BAB 19 :
BEBERAPA MOTIVASI ORIENTALIS:
KAJIAN
SUBYEKTIVITAS
The History of The Qur'anic Text hal 369 - 379
4. Tekanan dan Motivasi
Teori-teori Orientalis tidak lahir dari
kevakuman, melainkan muncul dari dunia yang terdesak kepentingan
politik yang mempolakan dan mewarnai seluruh teori yang ada; marilah
kita teliti bagaimana kepentingan itu selalu berubah wajah di segala
zaman.
i. Penjajahan dan Demoralisasi Kaum Muslimin
Dalam memahami motivasi Barat, kita
dituntut menarik garis ke belakang sejak tahun 1948. Sebelum itu,
tujuan utama Orientalisme adalah menyingkap Muhammad sebagai Nabi
palsu, AI-Qur'an jiplakan yang mengerikan, hadith rekayasa, dan hukum
Islam sangat lunglai, dan cocktail campuran yang diambil dari berbagai
unsur budaya lain. Singkat kata, penemuan-penemuan yang bertujuan
hendak membuat demoralisasi kaum Muslimin itu (khususnya pemimpin
tingkat atas yang, paling mendekati kemungkinan hendak dijadikan
sasaran), dan membantu kekuatan penjajah dalam mewujudkan kepatuhan
penduduknya dengan menggempur tiap negara yang memiliki sejarah
gemilang dan identitas keislaman tersendiri.
Dengan hampir seluruh wilayah kaum
Muslimin dikuras oleh berbagai dimensi penjajahan, termasuk Khilafah `Uthmaniyah,
waktu sudah cukup matang guna melakukan serangan terhadap nasib rakyat
dalam kehidupan sehari-hari. Para ulama yang memiliki legitimasi
ditempatkan ke dalam berbagai jenis hambatan politik; kebanyakan harta
wakaf yang jadi urat nadi mencuatnya keilmuan Islam disitu dan diredam.36
Hukum Islam dicampakkan
ke luar dan bahkan dibekukan. Sementara bahasa penjajah dan tulisannya
melaju melebihi yang lain, suatu dektrit ampuh untuk menikam seluruh
bangsa dalam keterpurukan pendidikan yang terlembaga. Ketidakmampuan
dalam menguasai bahasa Eropa telah menghempas para 'ulama' ke
wilayah pinggiran; jawaban yang ada dibuat, umumnya, dalam bahasa ibu
yang tak ubahnya laksana angin lalu yang tak pernah digubris.
Orientalis tidak pernah siap untuk berdebat dengan para 'ulama',
lebih-lebih lagi untuk menjawab kritikan-kritikan mereka; tujuan
satu-satunya ingin menggunakan bahan-bahan penjajah dan bekerja sama
dengan badan-badan asing37
untuk dapat meniupkan
pengaruh pada generasi baru Muslim elite yang berpendidikan Barat.38
Dengan menggiring para elite ini ke dalam tatanan paham sekulerisme
serta meyakinkan mereka bahwa berpegang dengan AI-Qur'an adalah
sia-sia, mereka diharap dapat melemahkan prospek hari ini dan masa
depan mengenai kekuatan politik kaum Muslimin.
"Pembuktikan" segala bentuk kejahatan
Muhammad dan pencurian kitab suci sebelumnya dalam Al-Qur'an, Geiger,
Tisdal, dan yang lain-lain ikut berperan aktif menjadi bumper tujuan
mereka; kemudian seluruh penglihatan terfokus pada sunnah Nabi
Muhammad
, di mana rasa hormat dan
kebanggaan dalam upaya pemusnahan dianugerahkan pada Goldziher
(1850-1921), kampiun Orientalis tertinggi pada zamannya. Dalam
penilaian Prof. Humphreys, karya Goldziher Muhammadanische Studien
telah berhasil,
menunjukkan bahwa kebanyakan hadith yang
dapat diterima dalam koleksi kaum Muslimin melalui sistem yang paling
ketat itu pun masih dianggap pemalsuan yang dibuat sejak akhir abad
ke-2/8 hingga abad ke-3/9 dan akibatnya, ketelitian jaringan isnad
yang memperkuat hadith-hadith itu pun terang-terangan masih dianggap
fiktif
39
Joseph Schacht mencari kesimpulan gurunya
dengan lebih ke depan: isnad dalam pandangannya merupakan sisa
peninggalan revolusi Abbasiyah pada pertengahan abad ke dua Hijrah.
Dengan semakin sempurnanya sebuah isnad, makin dekat kemungkinan pada
pemalsuan. Demikian tingginya mereka mengagungkan teori tersebut
sehingga karyanya, Origins of Muhammadan Jurisprudence, telah
menjelma sebagai sebuah Injil Orientalis, yang kebal dari sikap
penolakan dan kritikan, di mana Gibb membuat prediksi bahwa buku itu
akan "menjadi konstruksi dasar studi tentang peradaban dan hukum Islam
di masa depan, sekurang-kurangnya di dunia Barat."40
"Boleh jadi kita berkesimpulan bahwa Schacht memang benar," demikian
kata Humphreys pula.41
Namun nyatanya, studi kritis tentang karyanya telah terabaikan secara
terencana,42
kalau bukan malah dihambat. Apabila almarhum Amin al-Masri memilih
studi kritis karya itu dalam tesis doktornya, di mana Universitas
London menolak permintaannya; ia juga mendapat perlakuan yang sama di
Universitas Cambridge .43
Prof. N. J. Coulson mencoba dengan cara yang lembut untuk menunjukkan
kelemahan-kelemahan tesis Schacht, walau tetap bertahan bahwa secara
umum hal itu tidak dapat dibantah; tak lama kemudian ia angkat kaki
meninggalkan Universitas Oxford.
Wansbrough, yang membuat teori di atas
penemuan Schacht, menyimpulkan bahwa, "dengan sedikit pengecualian,
fikih kaum Muslimin, bukan bersumber dari Al-Qur'an." Jadi, status AI-Qur'an
dalam sejarah awal Islam, telah disisihkan oleh Wansbrough yang hendak
menghapus seluruh AI-Qur'an dari kehidupan komunitas Muslim. Beberapa
masalah yang masih tersisa yang dapat dimanfaatkan sebagai dalil yang
bersumber dari AI-Qur'an, secara perlahan dinafikan, "Mungkin dapat
ditambahkan bahwa beberapa pengecualian yang ada...tidak semestinya
menjadi bukti adanya sumber yang lebih awal mengenai kitab suci itu."
la menyajikan satu referensi gagasan pemikiran ini. Dalam hal ini
siapa saja akan geleng kepala bagaimana karya unggulan ini dapat
membangun pernyataan tentang AI-Qur'an sedangkan pada catatan kaki
tertulis: Strack, H., Introduction to the Talmud and Midrash,44
yang secara tak langsung menunjukkan bahwa jika segalanya benar apa
terjadi pada Talmud dan Midras, maka hal itu akan lebih benar apa yang
terjadi pada AI-Qur'an.
ii. Pertanyaan KeYahudian, Penghapusan
Sejarah, dan Pemalsuan yang Baru
Sebuah rangsangan baru
telah ditambahkan untuk kepentingan Orientalis sejak tahun
1948; perlunya
pengamanan perbatasan dan ambisi Israel di wilayah itu. Guna mengkaji
motivasi baru menuntut kita pertama kali untuk meneliti apa yang
disebut sebagai Jewish Question (Kepentingan Yahudi). Kekejaman
inquisisi di Spanyol, yang dilakukan oleh sebuah negara yang mengaku
cinta Tuhan, telah menyebabkan mereka `menyikat sampai bersih' jazirah
itu dari permukiman kaum Muslimin selain pengusiran orang-orang Yahudi
juga. Di antara orang-orang Yahudi yang terusir sebagian mengungsi ke
Turki, di bawah proteksi imperium `Uthmani, sementara yang lain kabur
ke Eropa dengan menanggung nasib yang selalu tak menentu. Orang Yahudi
yang tinggal di Jerman pada awal abad ke 19, misalnya, secara hukum
tidak dianggap sebagai manusia: mereka hidup sebagai harta pribadi
milik raja.
Layaknya budak belian
yang
lain, orang-orang Yahudi tidak dapat bergerak dari satu tempat ke
tempat lain, kawin, mempunyai anak lebih dari satu melainkan
memperoleh izin terlebih dulu. Walau demikian, karena hubungan
internasional mereka, orang-orang Yahudi secara resmi dipacu untuk
tinggal di Jerman dengan dalih akan dapat memperkuat sendi perdagangan.45
Bagi orang-orang
Jerman, kepentingan Yahudi lahir dari kebimbangan sebuah negara
Kristen tentang,
"bagaimana semestinya memperlakukan semua orang (yang dirasa tidak
tepat) untuk dibebaskan."46
Dari sekian pakar teori yang mampu menyajikan jawaban, tak seorang pun
yang siap bersaing dengan pengaruh Karl Marx; teorinya dalam
membebaskan orang-orang Yahudi sebagai sahabat dekat, adalah dengan
cara membebaskan mereka dari identitas agama mereka sendiri, walaupun
tetap memberikan dorongan terhadap satu petisi mengenai hak-hak orang
Yahudi.47
Dannis Fischman menulis,
Memang benar, analisis
terakhir adalah, emansipasi orang-orang Yahudi berarti
emansipasi manusia dari agama Yahudi. Orang-orang Yahudi,
seperti dikatakan
Marx, hanya dapat bebas manakala sifat Yahudinya, tidak
lagi dipertahankan.48
Istilah Yahudi
ada dua makna,
(1) Yahudi sebagai bangsa, dan (2) Yahudi sebagai
pengikut agama Yahudi. Marx ingin membebaskan orang-orang Yahudi dan
apa yang dia lihat sebagai belenggu pengaruh kedua-duanya;
jelasnya
pendekatan
yang paling mudah dan aman adalah dengan cara
memutuskan semua orang dari kebangsaan, harta milik, dan agama.
Sosialisme sebagai konsep kerja boleh jadi sebagian besar telah runtuh,
tetapi gagasan memusnahkan identitas kebangsaan dan agama demi
menciptakan satu tahap lapangan permainan masih tetap hidup. Gagasan
ini secara terbuka dikemukakan oleh bekas Perdana Menteri Israel
Shimon Peres dalam satu wawancara dengan Sir David Frost. Saat dicecar
pertanyaan mengenai sumber anti-Semit, Peres menjawab bahwa pertanyaan
yang sama telah mengusik perasaan Yahudi sejak dua ratus tahun yang
lalu yang, pada akhirnya, melahirkan dua pandangan yang berbeda.
Satu jawaban adalah, "Karena
dunia salah, maka kami harus mengubah dunia."
Dan yang lainnya adalah,
"Kami salah, maka kami harus mengubah diri kami." Orang Yahudi yang
menjadi komunis, misalnya, mengubah dunia, dunia yang membenci (Yahudi).
"Mari kita bangun dunia tanpa Negara, tanpa kelas, tanpa agama,
dunia tanpa seorang Tuan, yang menyerukan kebencian terhadap orang
lain."49
Jean-Paul Satre,
pengarang
yang menganut paham eksistensialis dan yang juga
keturunan Yahudi dari sisi ibu, berkilah dengan nada yang sama: akal
mesti menggantikan agama sebagai penyelesaian utama masalah-masalah
kehidupan. Bagi Satre kelanjutan beragama berarti penyiksaan kronik
terhadap orang-orang Yahudi, dan pemusnahan akan menjadi kunci bagi
mengurangi sikap anti-Semitis.50
Ketika membaca buku
kecil
yang berjudul Great Confrontation in Jewish History,51
saya secara kebetulan hadir dengan tema "Modernity and Judaism" yang
disampaikan oleh Dr. Hertzberg, seorang pendeta Yahudi dan asisten
Guru Besar Bidang Sejarah Universitas Columbia.52
Ketika meneliti tingkah laku
para pemikir Yahudi yang ulung mengenai agama mereka, Hertzberg
memberi tumpuan utama terhadap Marx dan Sigmund Freud. Marx muda,
menurutnya, memandang orang Yahudi dalam Die Judenfrage (Pertanyaan
Keyahudian) sebagai proto-Kapitalis, dan sebagai korban ketegangan
dahsyat disebabkan oleh sistem keuangan dan perjalanan ekonomi. guna
menyelesaikan kepentingan Yahudi, adalah dengan menghancurkan hierarki
kelas dan ekonomi, juga membebaskan orang-orang Kristen dan Yahudi
dengan menjatuhkan tradisi yang berlaku dalam kapitalisme. Frued di
sisi lain memandang agama sebagai obsesi yang bersifat kekanak-kanakan
terhadap para tokoh yang memiliki otoritas, yang pada dasarnya
merupakan sebuah pesakitan di mana setiap orang harus lebih unggul
dalam mencapai kesehatan mental dan kedewasaan.53
Sikap oposisi terhadap pemujaan berhala
dan pemberontak hendak melenyapkan norma-norma sejarah, tak terbatas
pada Marx dan Frued; "orang-orang luar" yang memiliki pola pikiran
seperti Yahudi juga kebanyakan berpendirian seperti itu. Mengapa?
Hertzberg melihatnya sebagai seruan pembebasan: bahwa dengan
memisahkan orang-orang Yahudi dari setiap unsur masa lalu di zaman
abad pertengahan Eropa, mereka dapat mulai merasakan kesegaran hidup
yang setaraf dengan orang-orang bukan Yahudi. Hat ini, menurutnya,
merupakan titik awal modernisasi Yahudi. Membangun kedudukan yang kuat
ke dalam budaya Barat, menuntut penghapusan sejarah Eropa masa lalu
yang penuh dengan kepercayaan dan mitologi Kristen, seperti semua
manusia lahir dari debu-debu sejarah yang telah hangus, akan bekerja
sama sebagai sahabat di era baru.54
Dalam penilaian Hertzberg, yang anti-Nasionalis
dan pro-Universalis pembaruan Yahudi, tak jauh berbeda dengan
nasionalis kontemporer yang merasa bangga dengan diri sendiri sebagai
Zionis. Sementara keduanya saling berseberangan, namun mereka bersaing
demi tujuan yang sama. Bagi pembaruan Yahudi abad ke-19, agama
dianggap sebagai belenggu yang mesti dimusnahkan demi penegakan
persamaan hak. Sebagai perbandingan, Zionisme kontemporer menyatakan
bahwa agama tidak lagi memadai sebagai kekuatan menyatukan.
Kecuali untuk golongan keagamaan,
mayoritas kaum Zionis, baik yang bersifat politik ataupun kultural,
adalah kaum sekularis yang memulai anggapan bahwa agama Yahudi tidak
lagi mampu berfungsi sebagai dasar kesatuan dan oleh karenanya
kebijakan untuk melangsungkan keberadaan orang Yahudi mesti dibangun
di atas beberapa premis yang lain.... Perintah yang paling besar bukan
lagi penderitaan untuk mengorbankan diri demi kesucian Nama Tuhan,
tapi untuk berjuang demi membangun kembali tanah air.55
Apa yang dikatakan Peres, Hertzberg, Satre,
Marx, Freud dan yang lain tampaknya para cendekiawan Yahudi menuntut
adanya satu komunitas global tanpa Tuhan, agama, dan juga sejarah-yang
merupakan antitesis dari anggapan orang-orang Yahudi bahwa hak mereka
terhadap tanah Palestina berpijak pada janji Yahweh.56
Keinginan mereka untuk bersatu ke dalam suatu masyarakat yang lebih
luas menuntut pemutusan hubungan masa lalu: menghapus sejarah dan
memalsukan pengganti baru. Guna mencapai tujuan ini Wellhausen dan
yang lain memulai tugas mencabik-cabik integritas Perjanjian Lama,
membuka jalan penyerangan terhadap Perjanjian Baru, yang kemudian
merambah kepada Al-Qur'an.
Dalam tahun-tahun suram sewaktu Perang
Dunia Kedua, orang-orang Yahudi tak dinafikan menanggung penderitaan
dan beban tragedi yang membakar kemanusiaan. Sambil mengakui
penderitaan mereka (yaitu orang-orang Yahudi), para sekutu yang menang,
memberi ganti rugi dengan satu anugerah meriah berupa `tanah air' di
atas teritorial bukan milik kelompok ini dan kelompok itu, yang dalam
proses mendapatkannya memaksa jutaan penduduk asli menanggung
keberadaan yang mengenaskan sebagai pengungsi. Saat itu, segala upaya
sekularisasi agarna Kristen dan Yahudi guna mengubah mereka menjadi
lambang-lambang yang diambil dari luar dalam kehidupan sehari-hari,
telah mengalami sedikit kemajuan. Akan tetapi, keinginan hendak
melenyapkan Tuhan, agama, dan sejarah dari jiwa kaum Muslimin hanya
membuahkan tantangan yang lebih besar: bahkan ketika proses
sekularisasi mulai menapak jalan masuk, kaum Muslimin tidak dapat
menoleransi pihak Israel. Keberhasilan dalam bidang ini, sekarang
ditujukan untuk membuktikan bahwa seluruh referensi mengenai
orang-orang Yahudi atau Palestina yang ada dalam teks-teks Islam
adalah palsu,57
sekaligus mengikuti jejak Perjanjian Baru58
dalam menyikat bersih
semua ayat-ayat dan surah-surah dalam Al-Qur'an yang dilihat
sebagai anti-Semit.
Sepanjang kaum Muslimin berpegang teguh
dengan AI-Qur'an sehagai Kalam Allah yang tak mungkin diubah, isu
pembersihan tetap di luar jangkauan mereka; dalam hal ini Wansbrough
memperagakan "bukti" bahwa Al-Qur'an yang ada sekarang ini bukan lagi
semata-mata "karya tulis Muhammad", tetapi karya banyak komunitas yang
terpencar-pencar di seluruh dunia Islam yang membangun teks itu
sekitar dua ratus tahun lebih.59
Mengutip Humphreys:
Wansbrough berharap bisa menetapkan dua poin utama:
-
Kitab suci Islam - bukan hanya hadith,
bahkan Al-Qur'an itu sendiri - dihasilkan oleh sebab kontroversi
mazhab yang memakan waktu lebih dari dua abad, yang kemudian secara
fiktif ditarik pada satu titik asal penciptaan oleh bangsa Arab.
-
Doktrin ajaran Islam secara umum, bahkan
ketokohan Muhammad, dibentuk atas prototype kependetaan Yahudi.60
Untuk hal ini dapat kita tambahkan tentang
karya kontemporer Yehude Nevo dan J. Koren yang menerapkan pendekatan
revisionis dalam studi Islam dengan hasil-hasil yang mengejutkan.
Ketika menerangkan survey arkeologi Jordan dan Semenanjung Arabia,
mereka mengatakan bahwa walaupun peninggalan-peninggalan peradaban
Hellenistik, Nabatean, Romawi dan Bizantin telah ditemukan, tidak ada
indikasi bahwa budaya Arab setempat pada abad ke-6 dan awal abad ke-7
Masehi telah terwujud.
Secara khusus, wilayah penyembahan berhala
Jahiliah pada abad ke enam dan ke tujuh, dan tempat-tempat suci
orang-orang musyrik sebagaimana dijelaskan oleh sumber-sumber Islam
tidak ditemui di Hijaz [bagian barat Arab] dan di tempat-tempat lain
yang diteliti.... Lagi pula, hasil penemuan arkeologi mengungkap bahwa
tidak ada bekas-bekas kependudukan Yahudi di Madinah, Khaybar atau
Wadi al-Qurra. Dua poin itu berlainan sekali dengan keterangan
sumber-sumber literatur Islam mengenai komposisi demografi Hijaz
sebelum Islam.61
Koren dan Nevo juga beranggapan bahwa,
sebaliknya, bukti yang melimpah tentang penyembahan berhala terdapat
di Najaf "Tengah (sebelah utara Palestina), satu wilayah yang tidak
disebut dalam sumber-sumber Islam. Penggalian tempat-tempat suci
menunjukkan bahwa penyembahan berhala masih ada dijalankan sehingga
awal kekuasaan pemerintahan Abbasiyah (pertengahan abad ke delapan
Masehi), yang di beberapa wilayah Najaf masih mempertahankan identitas
keberhalaan pada permulaan 150 tahun zaman keislaman. Tempat-tempat
suci tersebut dan juga topografi yang terdapat di sekelilingnya,
betul-betul sifatnya analogi (mereka menuduh) berlandaskan penjelasan
penyembahan berhala di Hijaz seperti dikutip oleh sumber-sumber
Muslim.
Jadi bukti arkeologi menunjukkan bahwa
tempat-tempat suci berhala seperti ditegaskan dalam sumber-sumber umat
Islam tidak terdapat pada masa jahiliah di Hijaz, melainkan
tempat-tempat suci yang benar-benar menyerupainya terdapat di Najaf
Tengah seketika setelah dinasti Abbasiyah berkuasa. Hal ini, pada
gilirannya, menunjukkan bahwa semua cerita mengenai agama Jahiliah di
Hijaz dapat diproyeksikan kembali dengan baik tentang satu keberhalaan
yang sebenarnya dapat dilacak dari periode kemudian dan dari wilayah
lain.62
Jika kita terima pernyataan Koren dan Nevo,
bahwa tidak terdapat bukti permukiman Yahudi di Hijaz di zaman Nabi
Muhammad saw, hasil yang logis adalah menafikan semua ayat-ayat AI-Qur'an
me ngenai Yahudi, karena hal itu tidak mungkin "dikarang" oleh
Muhammad. Jadi masyarakat Islam, katanya, telah menambah pada masa
berikutnya yang kemudian disebut sebagai Al-Qur'an; mengembalikan
Kitab itu kepada bentuk `aslinya' (yang menurut mereka merupakan
tulisan Muhammad) memerlukan penghapusan secara tepat terhadap
pemalsuan dan ayat-ayat yang bersifat anti-Semit. Dan, jika kita
percaya bahwa keberhalaan pra-jahiliah seperti ditegaskan dalam AI-Qur'an
dan Sunnah sebagai proyeksi ke belakang yang bersifat fiktif tentang
budaya yang berkembang di sebelah utara Palestina, maka dengan
memperluas figure Muhammad semakin dipertanyakan. Memproyeksikan
kembali, barangkali, dapat dihubungkan dengan peninggalan-peninggalan
kuno tentang keberadaan pendeta Yahudi di Palestina, yang menjadikan
ulasan Koren dan Nevo persis sama dengan teori Wansbrough. Dengan cara
demikian, kaum Muslimin jadi berutang tarhadap jasa baik agama Yahudi
karena menyajikan dasar-dasar yang fiktif bagi identitas dan sejarah
asal-usul mereka yang, pada gilirannya, juga berfungsi sebagai
motivasi seterusnya dalam memusnahkan ayat-ayat AI-Qur'an yang mencaci
maki perilaku orang-orang Yahudi.
5. Kesimpulan
Kebanyakan negara-negara Islam di sekitar
Israel telah diperingatkan akan pentingnya mengubah kurikulum sekolah
guna melenyapkan beberapa poin yang dapat meredam rasa benci terhadap
orang-orang Yahudi.63 Namun, Al-Qur'an tetap menjadi
kendala tujuan ini: sebuah kita suci yang selalu menegaskan mental
kepala batu dan tabiat pelanggaran orang-orang Yahudi, di mana
ayat-ayat mengenai mereka membasahi bibir anak-anak sekolah, bacaan
sewaktu shalat berjamaah di masjid-masjid, rasa kesal orang-orang
Islam sewaktu membaca Mushaf di waktu malam mengenai perilaku buruk
yang hampir menjamah semua aspek kehidupan. Oleh sebab itu, memahami
motivasi yang mendorong melakukan kajian Al-Qur'an dewasa dianggap
suatu kemestian, dengan harapan hasil kajian itu, dapat menyelamatkan
para pembaca untuk tidak terperangkap secara tidak sadar.
Kajian Strugnell dan Delitzsch mengenai
tema-tema Yahudi, sudah dianggap banci karena tuduhan-tuduhan anti-Semitisme.
Israel Antiquity Department mempertimbangkan kualifikasi itu
berdasarkan visi yang sesuai dengan ideologinya. Namun sebaliknya,
setiap orang Kristen, Yahudi, dan Ateis yang terlibat dalam penipuan
disengaja serta merendahkan berbagai ketentuan, keindahan, sejarah,
dan masa depan prospek Islam diizinkan menyebut dirinya seorang syekh,
agar kaum Muslimin percaya akan kejujuran dan mau menerima
penemuan-penemuannya. Pendapat ini tentunya tidak dapat diberi
pembelaan. Mengapa penolakan akademis yang mereka lakukan terhadap
orang-orang yang anti-Semit64
tidak dapat diterapkan terhadap mereka yang merusak Islam dengan
agenda terselubung? Mengapa ilmuwan non-Muslim harus dianggap sebagai
pemegang otoritas guna mengesktradisi ilmuwan Muslim yang mengamalkan
ajaran agama mereka? Mengapa para tokoh gereja seperti Mingana,
Gullaume, Wait, Anderson, Lammanse, dan masih banyak lagi yang tidak
mengharap sesuatu kecuali ingin melihat agama mereka mampu menutupi
sinar Islam yang harus dijadikan standar penelitian yang katanya "tidak
memihak"? Apa perlunya menganggap Muir sebagai pemegang otoritas dalam
sirah Nabi Muhammad, sementara ia menganggap Al-Qur'an sebagai "musuh
Peradaban, Kebebasan, dan Kebenaran yang tak kenal kompromi di mana
Dunia belum mengetahuinya?"65
36.
Keadaan yang berlaku sampai hari ini.
37.
Satu contoh yang terdekat mengenai hal ini adalah sebuah artikel tahun 1805
dalam Asiatic Annual Register oleh J. Gilchrist yang berjudul "Pengamatan
terhadap kebijakan dalam membentuk pemerintahan timur, dengan tujuan memberi
masukan terus-menerus terhadap agen-agen diplomat yang layak, para penerjemah,
dan lain-lain, untuk memudahkan dan memperbaiki hubungan langsung antara Tanah
Besar Inggris (Great Britain) dan negara-negara Asia, dalam mencontoh Lembaga
yang serupa di Prancis." [Lihat W.H. Behn, Index Islamicus: 1665-1905,
Adiyok, Millersville PA, 1989, hlm. l.]
38.
Usaha-usaha para Orientalis untuk menghapuskan AI-Qur an yang tak terlanggar itu
sayangnya telah mendapat support dari para elite sekuler Turki. Presiden Demirel
bahkan dicatat [dalam Surat Kabar ar-Riyad, keluaran 27-08-1420 H./S-II-1999]
dengan pernyataan yang saling berseberangan bahwa Islam modem sepenuhnya sesuai
dengan sekularisasi, sambil menambahkan bahwa sekitar 330 ayat AI-Qur'an "tidak
bisa lagi dipakai" dan mesti dibuang. Presiden berusia 76 tahun itu betul-betul
menghadapi badai kemarahan masyarakat dan wartawan juga karena pernyataannya itu,
sementara tawarannya untuk membuat satu "reformasi agama" ditolak oleh Mahkamah
Tinggi Urusan Islam Turki.
39.
R.S. Humphreys. Islamic History, hlm. 83.
40.
H.A.R. Gibb, Journal of Comparativc Legislation and International Law,
seri ke 3, jld. 34, bagian3-4 (1951), hlm. 114.
41.
Humphreys adalah seorang Guru Besar King 'Abdul-'Aziz dalam bidang Studi Islam
di Universitas California, Santa Barbara. Untuk kutipan di atas lihat karyanya
Islamic History, hal. 84. Lihat juga 1. Esposito, Islam: the Straight
Path, edisi yang lebih panjang, Oxford Univ. Press, New York, 1991, hlm.
81-82.
42.
Contohnya M.M. al-A'zami, On Schacht's Origins of Muhammadan Jurisprudence, John
Wiley;
1985.
43.
Lihat Mustafa as-Siba'i, as-Sunnah wa Makanatuha, Cairo, 1961, hlm. 27.
44.
Wansbrough, Quranic Studies, hlm. 44.
45.
Dennis Fischman, Political Discourse in Exile: Karl Marx and the Jewish
Question, The University of Massachusetts Press, 1991, hlm. 26.
46.
Ibid. hlm. 28.
47.
Ibid. hlm. 7,15.
48.
Ibid. hlm. 13.
49.
Talking with David Frost; Shimon Peres. Disiarkan di US dalam Public
Broadcasting System (PBS), 29 Marct 1996. Transkrip no. 53, hlm. 5; penekanan
adalah tambahan.
50.
M. Qutb, al-Mustashriqun wa al-Islam, Maktabat Wahbah, Kairo, 1999, hlm.
309. Gagasan ini juga dapat dijumpai dalam Anti-Semite and Jew (Terjemahan
Bahasa Inggris) karya Satre, Schocken Books Inc., New York, 1995.
51.
Ini adalah kumpulan kuliah yang diterbitkan oleh Departemen Sejarah, Universitas
Denver, yang diedit oleh Stanley M. Wagner dan Allen D. Breck.
52.
Ia adalah Pendeta di Sinagog Emanuel, Englewood, New Jersey. Selain dari
peranannya sebagai pendeta, ia juga mengajar di Universitas Rutgers, Universitas
Princeton, dan Universitas Hebrew di Jerusalem.
53.
Wagner dan Breek (ed.), Great Confrontations in Jewish History, hlm.
127-128.
54.
Ibid. hlm. 128-129.
55.
Ibid. hlm. 131. Penekanan adalah tambahan.
56.
Karena (dalam ucapan Pendeta Hertzberg) mayoritas Zionis tidak lagi percaya
dengan agama Yahudi sebagai faktor pemersatu, dan kini memberi perhatian pada
satu makna sekuler 'membangun kembali tanah air' untuk memenuhi keperluan akan
sesuatu yang bisa menghimpun mereka.
57.
Tidak lama setelah terbentuknya Negara Israel, Pendeta Prof. Guillaume 'membuktikan'
bahwa al-Masjid al-Aqsa yang melekat di hati kaum Muslimin sebenamya adalah
kampung kecil di sekitar Mekkah, jadi sangat jauh dari Jerusalem! [A. Guillaume,
"Where was al-Masyid al-Aqsa", al-Andalus, Madrid, 1953, hlm. 323-336.]
58.
Lihat Holy Injil, Contemporary English Version, American Injil Society.
New York, 1995; Joseph Blenkinsopp "The Contemporary English Version: Inaccurate
Translation Tries to Soften Anti- Judaic Sentiment," Injil Review, vol.
xii, no. 5, Okt. 1996, hlm. 42. Dalam keluaran yang sama: Barclay Newman, "CEV's
Chief Translator: We Were Faithful to the Intention of the Text," ibid., hlm.
43. Pengaruh perubahan-perubahan ini sangat jauh dibanding dengan
tulisan-tulisan yang menggambarkannya; untuk contoh-contoh itu lihatlah pada
pembahasan terperinci dalam tulisan ini, hlm.291-294.
59.
Prof Norman Calder kemudian bergabung dalam kelompok ini, menunjukkan bahwa
karya- karya pada periode itu-bukan saja AI-Qur'an-telah ditulis oleh komunitas
Islam secara keseluruhan. la membuat teori bahwa setiap karya yang terkenal yang
ditulis oleh para ilmuwan abad ke 2 dan ke 3 seperti Muwatra' Imam Malik,
al-Mudawwanah Sahnun, al-Umm asy-Syati'l, al-Kharaj Abu
Yusuf dan lain-lain, adalah teks ilmiah yang tidak ditulis oleh individu.
[Norman Calder, Studies in Early Muslim Jurisprudence, Univcrsitas Oxford Press,
1993].
60.
R.S. Humphreys, Islamic History, hlm. 84.
61.
J. Koren dan Y.D. Nevo, "Methodological Approaches to Islamic Studies", Der
Islam, Band 68, Heft 1, 1991, hlm. 101. Penekanan adalah tambahan.
62.
Ibid. hlm. 102. Penekanan adalah tambahan.
63.
Sebagai kasus yang jelas berdasarkan informasi yang saya dapat dari
Jordan-Israel baru-baru ini meminta negara-negara tetangganya (sebagai bagian
dari paket proses perdamaian) untuk menghilangkan semua kurikulum yang membahas
tentang Perang Salib, Salahuddin al-Ayyubi (Saladin), dan kemenangannya dalam
merebut kembali al-Quds (Jerusalem).
64.
Istilah 'anti-Semit' adalah gambaran yang salah yang secara sadar dipakai untuk
anti-agama Yahudi, tetapi mayoritas kaum Semit selama empat belas abad yang lalu
adalah orang-orang Islam itu sendiri!
65.
Sebagaimana dikutip dalam M. Broomhal, Islam in China, New Impression,
London, 1987, hlm. 2.
|
|