BAB 20 :
ULASAN
DAN PENUTUP
The History of The Qur'anic Text hal 381 - 384
Siapa saja yang hendak menulis perihal
Islam, hendaknya terlebih dahulu dia menarik sebuah keputusan percaya
bahwa Muhammad adalah seorang Nabi. Para ilmuwan yang mengakui bahwa
beliau benar-benar seorang Rasul dan yang paling mulia diantara para
nabi, mereka bakal menikmati kepustakaan hadith yang mengagumkan dan
wahyu ketuhanan yang dapat dijadikan sebagai sumber inspirasi. Secara
pasti mereka akan menemukan banyak keamaan, bahkan sepenuhnya cocok
dengan berbagai masalah yang sangat mendasar. Adapun
perbedaan-perbedaan kecil yang muncul karena perubahan keadaan, hal
ini dapat dianggap sebagai suatu yang alami dan kemanusiaan. Bagi
mereka yang menolak pandangan ini, akibatnya mereka melihatnya
(Muhammad) sebagai penipu majnun atau pendusta yang mengaku-ngaku jadi
nabi. Hal ini merupakan refleksi sikap yang diambil oleh semua ilmuwan
non-Muslim, di mana upaya yang mereka lakukan perlu dipilah-pilah:
jika mereka tidak mau membuktikan ketidakjujuran Muhammad atau
kesalahan Al-Qur'an, apakah yang menjadi penghalang bagi mereka untuk
menerima Islam?
Dalam urusan keislaman, penelitian dunia
Barat telah mengalami kemajuan dari sekadar subjektivitas kepada
pemunculan dogma anti ajaran Islam. Pandangan ini berasal dari
peristiwa masa lalu: persaingan agama yang sengit, abad-abad Perang
Salib, penjajahan tanah air kaum Muslimin, dan kebanggaan penjajahan
yang berubah menjadi penghinaan terang-terangan terhadap adat istiadat,
kepercayaan, dan sejarah kaum Muslimin. Untuk hal ini, kita dapat
menambahkan motif-motif baru juga: penanaman paham sekuler untuk
menopang asimilasi Yahudi secara global dan menjamin kesatuan tanah
Israel. Sejalan dengan garis keturunan nenek moyang, usaha-usaha
mereka akan terus berjalan, melalui penyerangan terhadap Al-Qur'an dan
menudingnya sebagai hasil karya masyarakat, seperti leluhur mereka
membuat istilah yang mencerahkan `Muhammadans' di mana seolah-olah
kaum Muslimin sujud di depan berhala emas yang diberi nama demikian.
Kata-kata mutiara Ibn Sirin (w. 110 H.)
dirasa lebih diperlukan saat ini ketimbang waktu sebelumnya:
Ilmu ini [mengenai agama] menjelma atau
merupakan keimanan, dari itu, berhati-hatilah dari siapa anda belajar
ilmu itu.1
Ini berarti Bahwa segala masalah yang
berkaitan dengan Islam-baik Al-Qur'an, tafsir, hadith, fiqih, sejarah,...dll. hendaknya
hanya tulisan kaum Muslimin yang komitmen terhadap ajaran agamanya
yang layak diperhatikan. Hal ini, akan diterima maupun tidak,
tergantung pada jasa dan kebaikan mereka.2
Tetapi untuk para individu yang jelas berasal dari luar komunitas
Muslim, motif mereka terselubung di balik sikap dusta yang dipoles
dengan istilah kejujuran, di mana kita hanya dapat melayani mereka
dengan sikap antipati. Kita tidak boleh menganggap mereka sebagai
syekh Islam,3
dan kita tidak dapat menerima anggapan mereka tentang gelar itu.
Dalam liputan pers tentang tuduhan
Presiden Clinton beberapa tahun yang lalu, saya tidak pernah mendengar
seorang pemain tenis ataupun pengkritik dunia seni (teater) yang
diminta keterangan tentang pendapat hukum terhadap masalah tersebut,
kendati naskah Undang-undang Dasar Amerika Serikat mudah didapat bagi
semua yang berminat baca. Diskusi tentang hukum tentunya hanya
terbatas di kalangan pakar bidang tersebut, guru besar undang-undang,
dan lain-lain. Para guru besar dari tempat lain tidak dibenarkan
berpartisipasi, karena hal itu merupakan penentuan nasib masa depan
internal negara Amerika Serikat. Malangnya, hal ini tidak seperti
perlakuan mereka terhadap Islam. Bolehkah seorang komentator film -setelah
membaca Undang-undang Dasar dan mendengar ucapan para pengacara dalam
liputan surat kabar- memiliki pandangan hukum setaraf dengan pandangan
para ilmuwan? Tidak, namun ada orang di luar bidang akademik tertentu,
seperti Toby Lester, menyuarakan pendapat dalam berbagai tulisan yang
kemudian dielu-elukan menempati kedudukan yang sederajat dengan para
ilmuwan. Adakah seorang guru besar hukum kebangsaan Jerman memiliki
pengaruh untuk muncul di layar TV dan memberi instruksi pada
orang-orang Amerika bagaimana menjalankan sistem perundang-undungan?
Tidak, namun para ilmuawan Barat malah merasa berkewajiban menekan
kaurn Muslimin bagaimana menatsirkan agama mereka.
Allah akan tetap agung, baik kita hidup di
abad pertama, dua puluh satu, atau di abad akhir zaman, siapa yang
berniat untuk menjatuhkan-Nya, walau merasa yakin dapat melakukan,
hanya akan memusnahkan diri sendiri tanpa dapat menyentuh satu serat
rambut dari Keagungan-Nya. Tidak ada satu orang pun yang boleh dipaksa
untuk mempercayai kesucian Al-Qur'an; manusia harus menentukan jalan
sendiri karena rnereka yang bakal menanggung risiko apa yang mereka
lakukan di kemudian hari. Namun dalam hidup ini, tak dibenarkan orang
luar menyeru kaum Muslimin dan membuat ketentuan hukum mengenai agama
mereka. Hanya para ilmuwan Muslim yang pendapatnya pantas didengar.
Jika hal ini tidak dianggap penting saat ini, maka komunitas Muslim
harus slap menerima caci-maki di masa depan.
Kita hidup di zaman yang serba kritis, dan
kemungkinan zaman serba sulit akan terus melaju: hanya Allah Yang
Mahatahu. Satu atau dua dasawarsa yang lalu, kecenderungan ilmuwan
Barat memaksa kaum Muslimin melenyapkan semua ayat-ayat Al-Qur'an
mengenai orang-orang Yahudi, boleh jadi dirasakan melompat terlalu
jauh oleh kalangan tertentu, akan tetapi realitas yang ada sekarang,
kita sedang dikepung oleh badai angin ribut yang mengerikan. Apa yang
dilakukan para ilmuwan Barat, secara teori, pemerintah mereka
melakukan pencarian yang tak kenal menyerah di mana jerih payah
mereka membuahkan hasil dalam bentuk nyata di sekeliling kita. Campur
tangan pihak Barat dalam mendesain kurikulum Islam; pemaksaan sistem
auditing pembubaran [lembaga-lembaga Islam]; suatu anjuran secara
terang-terangan minta agar menggusur ayat-ayat Al-Qur'an tentang
seruan jihad atau semua yang membuat panas telinga orang-orang Yahudi
dan Kristen; pengusiran tokoh-tokoh gurem yang berbau kearaban (tidak
perlu saya sebut di sini, karena tidak layak dipublikasikan); menuduh
Islam dengan sebutan yang tak ada satu makhluk Muslim mengatakan
sebelumnya; adanya "pakar terorisrne" yang muncul dalam media
internasional untuk mengumumkan keputusan mereka mengenai teks-teks
Islam; pemerintah sekuler Turki dilihat sebagai kelompok ideal yang
perlu dicontoh, sementara pemerintah yang konservatif diproyeksikan
sebagai ancaman yang akan mendekati kenyataan. Dalam semua tataran,
kini Al-Qur'an sedang mendapat serangan yang tak pernah terlintas di
benak pikiran kita sebelumnya.
Apa yang bakal terjadi selanjutnya
merupakan misteri dalam genggaman Allah, namun sekurang-kurangnya yang
perlu kita lakukan adalah memahami prinsip-prinsip agama kita yang
tidak mungkin dapat diubah oleh peredaran zaman. Di atas segalanya,
kita harus menjadikan Al-Qur'an sebagai referensi kita. Bagian teks
mana pun yang mungkin berlainan dengan Mushaf yang ada, terserah apa
yang hendak mereka sebutkan, adalah bukan dan tidak akan menjadi
bagian dari Al-Qur'an. Demikian halnya, segala upaya dari pihak
non-Muslim yang ingin mencekoki pikiran tentang dasar-dasar ajaran dan
legitimasi agama kita, mesti kita tolak tanpa harus berpikir panjang.
Bagaimana pun keadaan suhu politik, pandangan kaum Muslimin terhadap
Kitab Suci ini mesti tetap tak akan tergoyahkan: ia adalah Kalam
Allah, yang konstan, terpelihara dari kesalahan, tak mungkin dapat
diubah, dan mukjizat yang tak mungkin direkayasa.
Tamim ad-Dari meriwayatkan bahwa saya mendengar Nabi bersabda,
"(Agama ini] akan sampai pada apa yang dapat dicapai oleh siang dan
malam, dan Allah tidak akan meninggalkan sebuah rumah apa pun, baik
itu terbuat dari tanah atau bulu hewan [yaitu di kota atau di desa) sehingga Allah memasukkan agama ini ke dalamnya, baik melalui
kebesaran orang-orang yang mulia ataupun melalui kerendahan orang yang
dipandang rendah. Begitulah, Allah akan memberi karunia terhadap
Islam, dan Allah akan merendahkannya disebabkan kekufuran."4
|
Mereka hendak memadamkan cahaya (agama) Allah dengan mulut (ucapan-ucapan)
mereka, dan Allah tidak menghendaki selain menyempurnakan cahaya-Nya,
walaupun orang-orang kafir tidak menyukai. Dialah yang telah mengutus
Rasu/-Nya (dengan membawa) petunjuk Al-Qur'an dan agama yang benar
untuk dimenangkan-Nya atas segala agama, walaupun orang-orang musyrik
tidak menyukai.5
|
1.
Muslim, Shahih, 1: 14.
2.
Bahkan non-Muslim yang ingin belajar Islam perlu memulai dulu dengan membaca
bahan-bahan keislaman. Apabila mahasiswa universitas ingin mengkaji sosialismc
contohnya, maka mereka selalu memulai dengan prinsip-prinsip utama manifestonya
supaya dapat memahami subjek itu secara umum sebelum, mungkin, beranjak kepada
membuat kritikan-kritikan terhadap teori sosialis. Hal yang sama diterapkan juga
untuk kajian Injil. Jadi, untuk para pengkaji studi Islam yang memulai dan
mengakhiri bidang ilmu mereka dengan tulisan-tulisan Barat, dan hampir
mengabaikan keseluruhan sumber-sumber Muslim yang tradisional dan scmata-mata
memanjangkan apa yang diajarkan oleh pengkaji Barat golongan revisionismc,
adalah sungguh tidak masuk akal sama sekali.
3. Pada
awal tahun 90an ketika mengajar di Universitas Princeton, ada satu peristiwa
yang membuat saya menemukan kembali kepentingan pernyataan Ibn Sirin itu. Kepala
Departemen Studi Agama, Prof L. Udovich, seorang sarjana Yahudi yang mahir dalam
bahasa Arab dan Fiqih Islam (dan yang juga kawan baik saya), berkata kepada saya
sambil bergurau, "Saya tahu bahasa Arab dan fiqih, jadi saya syekh." Hal itu
mengganggu pikiran saya; dan saya tidak tahu bagaimana seharusnya mengatasi
kemungkinan adanya sebuah skenario di mana non-Muslim akan memberikan fatwa di
masa depan. Setelah mencari jawaban beberapa hari saya ketemu dengan pedoman
penting ini, dan tidak melupakannya sejak hari itu hingga kini.
4. Ibn
Hanbal, Musnad, iv: 103, hadith no. 16998.
5. Al-Qur'an
9: 32-33. |
|
B I O G R A F I
MUHAMMAD MUSTAFA AL-A'ZAMI adalah
salah seorang cendekiawan terkemuka di bidang ilmu Hadith, lahir di
Mau, India pada awal tahun tiga puluhan. Pendidikan pertama di Dar
al-`Ulum Deoband, India (1952), Universitas al-Azhar, Kairo, (M.A.,
1955), Universitas Cambridge (Ph.D., 1966). Guru Besar Emeritus (pensiun)
pada Universitas King Sa'ud (Riyad) dan beliau pernah menjabat sebagai
kepala jurusan Studi Keislaman, dan memiliki kewarganegaraan Saudi
Arabia. Profesor A'zami pernah menjabat sebagai Sekretaris
Perpustakaan Nasional, Qatar; Associate Profesor pada Universitas Umm
al-Qura (Mekah) ; Sebagai Cendekiawan tamu pada Universitas Michigan
(Ann Arbor); Fellow Kunjungan pada St. Cross College (Universitas
Oxford) ; Professor Tamu Yayasan Raja Faisal di bidang Studi Islam
pada Universitas Princeton, Cendekiawan Tamu pada Universitas Colorado
(Boulder). Beliau juga sebagai Professor kehormatan pada Universitas
Wales (Lampeter). Karya-karyanya antara lain, Studies in Early Hadith
Literature, Hadith Methodology dan Literaturnya, On Schacht's Origin
of Muhammadan Jurisprudence, Dirasat fi al-Hadith an-Nabawi, Kuttab
an-Nabi, Manhaj an-Naqd `ind al-`Ilal Muhaddithin, dan al-Muhaddithin
min al-Yamamah. Beberapa buku yang dieditnya antara lain, al-` Ilah of
lbn al-Madini, Kitab at-Tamyiz of Imam Muslim, Maghazi Rasulullah of `Urwah
bin Zubayr, Muwatta Imam Malik, Sahih ibn Khuzaimah, dan Sunan ibn
Majah. Beberapa karya al-A'zami telah diterjemahkan ke dalam beberapa
bahasa lain. Karya yang akan datang antara lain, The Qur'anic
Challenge: A Promise Fulfilled (Tantangan AI-Qur'an: Suatu Janji yang
Telah Terpenuhi), dan The Isnad System : Its Origins and Authenticity
(Sistem Isnad: Keaslian dan Kesahihan-nya). Pada tahun 1980 beliau
menerima Hadiah Internasional Raja Faisal untuk studi keislaman.
|