BAB 12 :
METODE PENDIDIKAN MUSLIM
The
History of The Qur'anic Text hal 190 - 204
4. Pembuktian Kebenaran
Isnad dan Hadith
Menurut pakar kritik hadith, penerimaan
terakhir suatu riwayat hanya berpijak semata-mata pada keasliannya;
bahkan ketelitian dan keaslian, menurut para muhadditsin (pakar
hadith), dirasa belum cukup karena itu, mereka menghendaki tiga syarat
tambahan:
-
Semua perawi dalam jaringan
riwayat mesti dikenal thiqah (tepercaya).15
-
Jaringan riwayat yang utuh (tidak pernah
putus).
-
Dorongan positif pernyataan dari semua
bukti yang ada adalah suatu kemestian.
i. Menetapkan Sifat Amanah
Menentukan kejujuran seorang perawi
tergantung pada dua kriteria: (a) akhlak dan (b) kemantapan ilmu.
(a) Akhlak
Di bawah ini dapat
dilihat bagaimana Al-Qur'an menerangkan Jab diri seorang saksi:
"...dan
persaksikanlah dengan dua orang saksi
yang adil di antara kamu."16
"...dari dua orang saksi yang kamu
ridhai."17
'Umar
menggunakan ungkapan fa anta `indana
al-''adl
al-rida
ketika memanggil 'Abdur Rahman bin 'Auf ("bagi kami
Anda adil dan dapat diterima"). Perkataan 'adl (bersikap benar),
yang menggambarkan satu sifat Islam yang baik, telah diberi definisi
oleh as-Suyuti lebih jelas lagi:18
"Hal itu ditujukan
pada seorang Muslim yang telah dewasa, waras akal, bersih dari sifat
tercela, clan memagari diri dengan ukuran norma masyarakatnya." Ibnu
Mubarak (118-181 H) juga mendefinisikan akhlak pribadi seseorang
dengan menyatakan bahwa seorang perawi yang dapat diterima agar:
-
Selalu shalat
berjamaah.
-
Menjauhi nabidh,
sejenis minuman yang dapat memabukkan setelah disimpan beberapa
lama.
-
Tidak pernah
ngibul (dusta) walaupun sekali sejak usia dewasa
-
Bebas dari cacat
mental.19
Seorang mungkin dapat
meroket setinggi langit menaiki jenjang keilmuan, tetapi jika
moral pribadinya meragukan, maka hadith apa pun yang meluncur dari
mulut, meski benar adanya, tak bakal diterima.20
Adalah kesepakatan para muhaddithun
bahwa semua ilmuwan di bidang hadith, kecuali para Sahabat yang
sifat-sifat mereka telah dijamin oleh Allah dan Rasul-Nya, memerlukan
bukti akhlak mulia jika ucapan ingin dianggap sah. Di sini saya
berikan sebuah contoh:
Gambar 12.2: Satu halaman dari Nuskhat Abu az-Zubair bin 'Adi al-Kufi
Naskah ini,
Nuskhat Abu
az-Zubair bin 'Ad! al-Kufi,
telah dikenal palsu
meskipun semua teks hadith benar adanya. Kebanyakan materi dalam
naskah yang ditulis dengan kecurangan, memuat hadith-hadith sahih yang
diriwayatkan oleh Anas bin Malik, seorang Sahabat yang terkenal itu.
Hanya saja jaringan perawinya mengalami sifat cacat: Bishr bin Husain,
seorang perawi, mengaku dapat hadith ini dari az-Zubair bin 'Ad! salah
seorang murid Anas bin Malik. Reputasi Bishr bin Husain memang
naas
sehingga
para muhaddithun menyebutnya sebagai `pembohong' dan mereka telah
buktikan bahwa jaringan riwayat seperti itu tidak pernah terjadi yang
semata-mata merupakan rekayasa Bishr. Dari halaman yang tampak
memiliki sepuluh muatan hadith, al-Bukhari atau Muslim telah
menjelaskan enam teks utama hadith itu sebagai sahih, dan tiga
lainnya oleh Ahmad bin Hanbal. Tetapi
isnad
yang dipalsukan
itu-walau dikait-kaitkan dengan kesahihan sabda Rasulullah-menyebabkan
penurunan nilai buku itu
haram
untuk dijadikan
referensi.21
Melacak seorang perawi
bermuka ganda melalui kajian data sejarah, pemeriksaan cermat terhadap
buku-buku, segala jenis kertas, dan tinta yang dipakai boleh jadi
menjadikan kita
kedodoran;
dan dalam banyak hat
seorang terpaksa mengandalkan pada laporan orang-orang yang hidup satu
zaman dengan perawi agar memungkinkan dapat membedah kadar moralitas
dan sifat-sifat mereka. Adanya sikap permusuhan atau kebaikan dapat
jadi berpengaruh dalam merekomendasi teman terdekat, dari itu,
kesungguhan akademis telah melahirkan pedoman meminta agar setiap
peneliti selalu mendahulukan sikap cermat.22
(b) Kemantapan Ilmu
(Ujian Akurasi Tulisan)
Apa pun banyaknya
kesalahan yang mungkin menimpa perawi hadith tidak boleh dinisbatkan
pada sikap kebencian, namun hendaknya kealpaan yang ada perlu
pengelompokan untuk diberi penilaian. Menguji ketelitian memerlukan
pemeriksaan silang secara menyeluruh, guna memahami bidang yang
lengkap dan untuk itu, kita akan fokuskan perhatian kita pada ilmuwan
selebritas Ibnu Ma'in (w. 233 H) dalam satu masalah yang mungkin
terjadi pada abad kedua hijrah. Beliau pergi menemui `Afian, seorang
murid ilmuwan kenamaan, Hammad bin Salamah (w. 169 H), untuk
mengulangi bacaan hadith-hadith Hammad kepadanya. Karena terkejut
melihat seorang ilmuwan sekaliber Ibnu Ma'in mau menemuinya, 'Affan
bertanya apakah pernah ia membaca buku itu di depan murid-murid Hammad
yang lain; lalu la menjawab, "Saya telah membaca di depan tujuh betas
muridnya sebelum datang menemui anda." `Affan kemudian berseru, "Demi
Allah, saya tak akan membacakan kepada anda." Tanpa rasa terkejut Ibnu
Ma'in lalu menjawab bahwa dengan membayar beberapa
dirham
ia dapat melancong
ke Basrah membacakan kepada murid-murid Hammad yang lain. Guna
membuktikan ucapannya, Ibn Ma'in bergegas menuju jalan-jalan di kota
Basrah yang sibuk menemui Musa bin Isma'il (murid Hammad yang lain).
Musa bertanya kepadanya, "Apakah anda belum pernah membacakan buku itu
pada yang lain?"23
la menjawab, "Saya telah membaca keseluruhannya di depan tujuh betas
orang murid Hammad, dan Anda adalah yang ke delapan betas." Musa tak
habis pikir
terbengong-bengong
keheranan apa perlunya melakukan bacaan pada orang sebanyak itu dan ia
menjawab, "Hammad bin Salamah telah melakukan kesalahan dan
murid-muridnya membuat lebih banyak lagi. Saya sekadar ingin
membedakan kesalahan Hammad dan murid-muridnya. Apabila saya temukan
semua murid Hammad serentak membuat kesalahan, maka Hammadlah yang
saya anggap sebagai sumber bencana. Namun, jika saya temukan
kebanyakan muridnya mengatakan sesuatu, clan satu orang murid lagi
berlainan, maka murid mereka yang mesti memikul beban tanggung jawab
kesalahan. Dengan cara ini, saya dapat membedakan kesalahan seorang
guru dan murid-muridnya."24
Dengan mengikuti metode ini Ibn Win
dapat mengenal warna-warni murid dalam menyingkap kemampuan
masing-masing. Demikianlah pijakan penting dalam menilai para perawi
hadith sehingga meletakkan mereka ke dalam beberapa kelompok. Ibn
Ma'in bukanlah penemu dan bukan pula orang pertama melakukan metode
ini, sejauh yang saya ketahui, ia ilmuwan pertama yang mampu
mengekspresikan secara jelas. Sebenarnya skema seperti ini sudah
dilakukan sejak zaman Khalifah Abu Bakr meski ketika itu terdapat
perbedaan kuantitas dokumen yang dilacak secara jeli, namun dari segi
kualitas usaha itu memang sudah ada.25
(c) Klasifikasi Para Perawi
Gabungan sifat 'adl dan
keilmuan yang benar pada pribadi seseorang membuahkan gelar umum
sebagai "orang tepercaya" (thiqqah). Di antara pakar hadith ada yang
membuat penilaian lebih spesifik dengan menggunakan sifat-sifat itu
dalam membuat dua belas kategori: yang tertinggi bergelar imam (pemimpin)
dan yang terendah bergelar kadhdhab (pendusta). Penekanan pada urutan
derajat (ranking) para perawi in( memaksa mereka mendapatkan biodata
mereka, guna memasukkan pertumbuhan cabang ilmu baru, al-Jarh wa
at-ta 'dil, yang menawarkan sejumlah besar pada perpustakaan
mengenai biografi perawi yang mencapai ribuan jilid.26
ii. Jaringan Riwayat yang Tak Terputus
Jika sikap amanah jadi kata kunci
diterimanya suatu riwayat, maka keberadaan jaringan yang tak terputus
merupakan syarat kedua. Jaringan mata rantai ini dalam ilmu hadith
disebut isnad. Menetapkan nilai setiap isnad pada intinya akan
melibatkan kajian biodata perawi yang tertera namanya (dalam contoh
yang lalu, seperti A, B, dan C) di mana jika dinyatakan mulus dalam
testing moral dan kemantapan ilmu, berarti membuka peluang kesiapan
dalam menghakimi status isnad itu. Kita juga mesti yakin bahwa setiap
perawi mengambil pernyataan dari yang lain: jika C tidak secara
langsung mengambil dari B, atau B tidak ada kontak sama sekali dengan
A, berarti jaringannya jelas cacat. Sekalipun kita menemukan jaringan
mata rantai itu tidak terputus, tidak juga memberi jaminan analisis
kita telah dianggap sempurna.
iii. Memberi Dukungan atau Sebaliknya
Langkah akhir adalah pemeriksaan silang
menyeluruh terhadap isnad-isnad lainnya. Katakanlah kita memiliki satu
pasangan ilmuwan tepercaya, E dan F, yang juga meriwayatkan dari A,
seperti halnya dalam jaringan A-E-F. Sekiranya mereka menyampaikan
pernyataan mengenai A dan cocok dengan pernyataan A-B-C, maka hal ini
selanjutnya akan menguatkan permasalahan yang ada yang kita istilahkan
sebagai mutaba 'ah. Tetapi apa jadinya jika kedua pernyataan itu tidak
setaraf? Jika E dan F ternyata mengungguli B dan C, hal ini akan
melemahkan laporan yang diberikan oleh B dan C; dan dalam hal ini
riwayat yang diberikan oleh A-B-C dalam ilmu hadith disebut syadh (nyeleneh
lagi lemah). Keberadaan jaringan mata rantai ke tiga dan ke empat yang
melengkapi laporan versi A-E-F akan membantu dan menguatkan
argumentasi dalam menepis A-B-C. Akan tetapi, jika perawi E dan F
memiliki kemampuan yang serupa dengan B clan C, nasib A akan dianggap
sebagai mud tarib (memusingkan). Jika A-B-C menyatakan sesuatu yang
bertentangan dengan A-E-F, tetapi sejalan dengan ratusan riwayat lain
(yang bersumber selain A), maka khabar berita (riwayat) A-E-F mesti
dibuang ke wilayah pinggiran.
iv. Satu Ujian Masalah Isnad yang
Mengelirukan
Cerita-cerita miring, atau yang
bukan-bukan, kadang-kadang dapat juga dipahami. Karena kekurangan ilmu
mengenai sistem kritikan jaringan perawi hadith, beberapa pakar (jarang
melibatkan pakar hadith yang masyhur) membuat laporan bohong (palsu),
dan berusaha membela atau menepis dengan menguras banyak energi (tenaga).
Sebagai contoh,
al-Dhahabi mengutip laporan al-A'masy, "Saya
mendengar (sami' tu) Anas bin Malik [seorang Sahabat ternama] membaca
(
). Ketika dikatakan, 'Hai Anas, yang betul adalah
maka ia
menjawab, dan
dua-duanya sama." AI-Dhahabi menganggap
jaringan mata rantai riwayat itu benar adanya,27
begitu juga 'Abdus Sabur Shahin, bagaimana pun berusaha membetulkan
kejadian itu, mengaitkan sikap Anas pada masalah tujuh ahruf.28
Namun menurut para pakar ahli kritik hadith al-A'mash tidak
pernah belajar sesuatu dari Anas, sebagaimana dibuktikan dalam ulasan
berikut ini:
Anas bin Malik terlewati oleh saya pagi clan petang. Saya selalu
berpikir, "Saya tidak akan mau merengek-rengek ingin belajar dengan
Anda karena setelah berkhidmat dengan Nabi Muhammad
semasa hidupnya, Anda
mendekati al-Hajjaj minta jabatan, sehingga dia setuju mengangkat Anda."
Kini saya merasa hina gara-gara pernah meriwayatkan informasi yang
saya dapat dari para muridnya, clan bukan langsung dari dia.29
Kalaulah ia pernah mendengar suatu
komentar dari Anas, tentunya ia akan menyampaikan pada pihak lain atas
wewenang atau kekuasaan Anas clan tidak perlu mengadukan diri sendiri.
Hanya saja, pemeriksaan yang teliti terhadap riwayat hidupnya
menyebabkan al-Mizzi dan orang lain mempertegas anggapan walaupun ia
selalu melihat Anas, al-A'mash tidak pernah mendapat ilmu sedikit pun
dari padanya,30
sehingga kita dapat
menyimpulkan bahwa peristiwa itu bisa saja terjadi karena pemalsuan
yang disengaja atau semata-mata kesalahan dari salah satu murid
al-A'mash.31
Guna menentukan kesahihan akan hal ini atau peristiwa lainnya sampai
pada sebuah keputusan terpelajar (ilmiah), memerlukan peninjauan ketat
cara mengkritik isnad.
5. Ulama Generasi
Pertama
Sebelum melangkah lebih jauh, barangkali
ada baiknya kita jelaskan definisi peristilahan generasi para perawi
hadith yang digunakan oleh ilmuwan Muslim.
-
Generasi pertama, mereka yang pernah
menemani Nabi Muhammad dan
kenal dengan beliau secara pribadi akan disebut 'Sahabat'. Dalam
pandangan Mazhab Sunni, semua Sahabat adalah dianggap 'adl
karena Allah memuji mereka tanpa kecuali, sambil memberi jaminan
akhlak mereka dalam Al-Qur' an berulang kali.
-
Generasi kedua, mereka yang pernah
belajar melalui Sahabat disebut sebagai tabi `in atau `Pengikut'.
Pada umumnya mereka tergolong pada generasi pertama Hijrah hingga
seperempat pertama abad ke dua Hijrah, dan riwayat hadith mereka
dapat diterima selama dikenal sebagai `orang tepercaya'. Dalam hal
ini tidak ada yang perlu diperiksa lagi karena mereka melandaskan
pernyataannya pada para Sahabat.
-
Generasi ketiga, atba `at-tabi `in atau
`Penerus Pengikut', kebanyakan berkelanjutan sampai pertengahan
pertama abad kedua Hijrah. Riwayat dari generasi ketiga ini dapat
diterima jika disahkan melalui sumber-sumber lain, kalau tidak,
riwayat itu disebut sebagai gharib (aneh).
-
Terlepas dari reputasinya, pernyataan
generasi ke empat akan dapat tertahan kecuali setelah disahkan
melalui jalur lain. Beberapa orang yang terdapat dalam kelompok ini
telah meriwayatkan hingga 200.000 hadith yang hampir dua atau tiga (kalau
tidak kurang) koleksi hadith mereka tidak mendapat dukungan dari
isnad-isnad lain. Akhirnya, seorang perawi dari generasi ini tidak
dapat disahkan secara bebas.32
Meskipun telah tercatat sejak kehidupan
Nabi Muhammad hal itu bukan
sampai pada generasi berikut, hanya dalam masa pertengahan kedua dari
abad pertama, hadith-hadith itu mulai dikelompokkan menurut topik
bahasan dalam bentuk booklet. Di era abad kedua, sejarah juga
menyaksikan kemunculan banyak buku hadith bertarafkan ensiklopedia,
seperti Muwatta' Malik, Muwatta' Shaibani, Athar Abu Yusuf, Jami` Ibn
Wahb, dan Kitab Ibn Majishun. Abad ketiga akhirnya merupakan
demonstrasi lahirnya buku-buku besar, seperti Sahih al-Bukhari dan
Musnad Ibn Hanbal. Sketsa generasi perawi hadith di atas memberi
gambaran kasar mengenai penilaian isnad clan betapa njlimetnya (kecil
kemungkinan) seseorang pemalsu hadith dapat lolos seenaknya tanpa
terdeteksi oleh pakar hebat yang telah membuat karya tulis setaraf
ensiklopedi.
6. Pemeliharaan
Buku dari
Upaya Pemalsuan: Satu Sistem yang Unik
Guna memelihara keutuhan dari keterangan
dan pemalsuan yang mungkin dilakukan oleh ilmuwan di masa depan, satu
metode unik telah diterapkan yang, hingga saat ini, tak ada yang mampu
menyaingi dalam sejarah literatur. Berdasarkan konsep yang sama
seperti pengalihan riwayat hadith, menghendaki
setiap ilmuwan yang menyampaikan koleksi hadith mesti menjalin
hubungan langsung dengan pihak yang ia sampaikan, karena pada intinya
ia sedang memberikan kesaksian tentang orang itu dalam bentuk tertulis.
Membaca sebuah buku tanpa pernah mendengar dari penulisnya (atau
tanpa membaca naskah buku di depan pengarang) akan menjadikan orang
sebagai penjahat kesalahan, culprit guilty, karena memberikan
kesaksian bohong.
Menyadari dalam
pikiran tentang hukum kesaksian, metode berikut diakui sebagai cara
yang benar dalam memperoleh hadith; masing-masing cara ini memi(iki
derajat tersendiri, sebagian memerlukan hubungan yang lebih jauh dari
yang lain dan, akhirnya, mencapai kedudukan lebih hebat.
-
Sama'.
Dengan
cara ini seorang guru membaca di depan muridnya, yang mencakup
cabang bentuk berikut ini: bacaan lisan (hafalan), bacaan teks,
tanya jawab, dan diktean.
-
'ard. Dalam sistem
ini seorang murid membaca teks di depan maha guru.
-
Munawalah.
Menyerahkan teks pada seseorang termasuk memberi izin menyampaikan
isi riwayat tanpa melalui cara bacaan.
-
Kitabah.
Suatu
bentuk korespondensi: guru mengirim hadith dalam bentuk tertulis
pada ilmuwan lain.
-
Wasiyyah.
Mengamanahkan seseorang dengan buku hadith, kemudian yang diberi
amanah dapat disampaikan pada pihak lain atas wewenang pemilik asli.
Selama tiga abad pertama, metode pertama dan ke
dua sangat umum dipakai, kemudian disusul dengan sistem
munawalah,
kitabah,
dan akhirnya
wasiyyah.
Periode
selanjutnya menyaksikan munculnya tiga kreasil ain;
-
Ijazah.
Meriwayatkan sebuah hadith atau buku atas wewenang ilmuwan yang
memberi izin khusus yang diutarakan untuk tujuan ini tanpa
membacakan buku itu.
-
I'lam.
Memberi
tahu seseorang mengenai buku tertentu dan isi kandungannya. (Kebanyakan
pakar hadith tidak mengakui sebagai cara yang sah untuk meriwayatkan
hadith).
-
Wijadah.
Cara ini
menyangkut penemuan teks (misalnya manuskrip kuno) tanpa membacanya
di depan pengarang atau mendapat izin untuk meriwayatkannya. Dalam
penggunaan metode ini sangat penting untuk dinyatakan secara jelas
bahwa buku itu telah ditemukan, dan juga untuk menulis daftar isi
kandungannya.
Masing-masing cara
memiliki istilah tersendiri yang berfungsi untuk menjelaskan bentuk
penyampaian riwayat untuk para ilmuwan di masa yang akan datang. Isi
kandungan buku-buku hadith sampai tingkatan tertentu dirancang melalui
pendekatan ini, karena nama perawi merupakan bagian dari teks, dan
setiap cacat negatif yang pada sifat seorang perawi itu akan berimbas
pada keutuhan dokumen.33 Seperti halnya tiap hadith yang memasukkan
jaringan perawi yang akan bermuara pada Nabi Muhammad
atau Sahabat, begitu juga
setiap buku memiliki jaringan riwayat akan berakhir pada pengarang
yang sejak semula menyusun buku itu. Urutan-urutan mata rantai ini
bisa jadi ditulis pada batang tubuh judul naskah, bab pendahuluan,
kedua-duanya, atau dapat juga sebagai perubahan kecil pada setiap
hadith. Perhatikanlah contoh pada gambar 12.3.34
Beberapa baris pertama
berbunyi sebagai berikut:35
Terjemahannya:
Dengan nama Allah yang
Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Muhammad bin Bahr Abu Talhah telah
membacakan kepada kami, menyatakan bahwa 'Abdul-Mun'im bin Idris telah
membacakan kepada kami atas wewenang ayahnya, dari Abu Ilyas, yang
meriwayatkan dari Wahb bin Munabbih, di mana ia mengatakan, "Apabila
delegasi mulai masuk mendekati Nabi Muhammad
menyatakan hasrat memeluk
Islam, As'ad bin Zurarah pergi menemui ayahnya Zurarah bin As'ad..."
Gambar 12.3: Halaman
pertama Maghazf Rasulillah oleh Wahb bin Munabbih (44-I14 Hijrah)
disalin pada tahun 227 H./841 M. Sumber: R.G. Khoury, Wahb bin
Munabbih, Plate PBI. Dicetak ulang melalui izin penerbit. |
Di sini nama-nama
perawi telah jadi tambahan permanen pada pembukaan teks. Bentuk umum
seperti ini dapat juga dilihat pada Sahih al-Bukhari
dan Sunan an-Nasa'i sebagai contoh kendati bukan
satu-satunya. Karya-karya tertentu melangkah lebih jauh memasukkan
nama pengarang asli pada permulaan setiap hadith, seperti Musannaf 'Abdur-Razzaq,
Musannaf Ibn Abi Shaibah,
dan (kebanyakan bagian) Sunan at-Tirmidhi. Bentuk variasi yang ke tiga
bahkan menjelaskan keseluruhan urutan mata rantai perawi buku pada
awal tiap-tiap hadith. Tampak jelas dengan habisnya beberapa generasi,
penyertaan seluruh jaringan mata rantai ini akan menjadi panjang, dan
biasanya hanya pengarang dan beberapa perawi yang menduduki urutan
terdepan yang disertakan. Sekarang hendak kita selidiki Muwatta' Malik
bin Anas menurut resensi Suwaid bin Sa'id al-Hadathani (w. 240 H.).
Jaringan mata rantai riwayat seperti tertera pada permulaan Muwatta'
urutannya adalah: (1) Thabit bin Bundar al-Baqqal, dari (2) `Umar bin
Ibrahim az-Zuhri, dari (3) Muhammad bin Gharib, dari (4) Aimad bin
Muhammad al-Washsha', dari (5) Suwaid bin Sa'id al-Hadathani, dari (6)
Anas bin Malik, pengarang pertama.
Pada permulaan setiap
hadith terdapat satu versi kependekan mata rantai riwayat seperti ini:
Muhammad telah
membacakan kepada kami bahwa Ahmad meriwayatkan atas wewenang Suwaid,
yang meriwayatkan dari. Malik...36
Kelanjutan dari mata
rantai di atas adalah isnad yang tetap untuk hadith tersebut, yang
puncaknya adalah inti teks hadith itu sendiri. Walaupun bentuk seperti
itu tidak secara seragam mendapat perhatian dalam semua manuskrip yang
ada, namun nama-nama perawi selalu dimasukkan ke dalam teks.
i. Syarat-syarat Penggunaan Buku
Guna mengajar atau
memanfaatkan sebuah teks, di antara syarat yang paling ketat, seorang
ilmuwan hendaknya berpegang hanya pada naskah yang namanya tertulis
dalam sertifikat bacaan. Ijazah ini merupakan surat izin dan bukti
bahwa ia telah menghadiri kelas berkenaan di mana guru menyampaikan
manuskrip tersebut.37 Dengan kebebasan yang
diberikan untuk membuat salinan buku gurunya atau menggunakan buku
yang memiliki wewenang lebih tinggi dengan jaringan mata rantai
riwayat yang sama, ia dilarang secara ketat menggunakan naskah-naskah
orang lain. Anggaplah A adalah pengarang pertama, lalu bukunya meluas
ke berbagai di kalangan murid-murid seperti di bawah ini:
Gambar
12.4: A, pengarang pertama dengan murid L, H, dan G.
Walaupun semua
naskah-naskah berasal dari A, kita temukan bahwa M tidak berhak
menggunakan naskah R atau N, atau H dan L. Sebaliknya ia mesti
membatasi diri hanya menggunakan naskah G, M atau A. Main coba-coba
hendak keluar dari batasan ini, berarti suatu penghinaan baginya.
Selain itu, setelah menyalin naskah untuk dirinya ia mesti meneliti
teks asli serta mengoreksi jika dirasa perlu dan sekiranya ia
memutuskan untuk menggunakannya tanpa merasa perlu merevisi secara
cermat, ia harus menyatakan dengan jelas, kalau tidak akan berisiko
mencemarkan namanya.
ii. Keterangan
Tambahan: Penambahan Materi dari Luar
Para murid yang
mempunyai naskah pribadi bisa jadi sewaktu-waktu menambah materi
terhadap teks yang sudah ditetapkan guna memperjelas kata-kata yang
samar dengan menyajikan bukti baru yang tidak dimuat oleh pengarang
pertama, ataupun terhadap hal-hal yang dianggap mirip dengannya.
Karena bahan tambahan ini ditandai dengan isnad yang betul-betul
berlainan, atau paling kurang nama orang yang memasukkannya, hal ini
tak akan merusak teks sama sekali. Contoh yang paling nyata dapat
dilihat pada salah satu karya saya,38
di mana
penyalin telah menambah dua alinea sebelum menyelesaikan satu kalimat.
Contoh lain adalah penyisipan dua alinea dalam al-Muhabbar karya Abu
Sa'id,39
dan juga bahan tambahan yang diberikan oleh
al-Firabri dalam Sahih al-Bukhari,40
yang mana dalam
dua kasus itu isnad baru dapat diketahui secara mudah.
Sangat berbeda dengan
contoh yang terjadi di abad pertama dan kedua di mana para penyalin
Kristen mengubah teks-teks jika yakin bahwa mereka telah diberi
inspirasi,41 atau para penyalin Yahudi yang
menyisipkan perubahan-perubahan itu demi memperkuat doktrin agama
mereka,42 penyisipan tidak pernah diberi peluang
dalam kerangka tradisi Islam; setiap komentar seorang murid yang
bersifat pribadi mesti memerlukan tanda tangan dan bahkan mungkin
dengan isnad baru. Mematuhi peraturan-peraturan itu menjamin bahwa
tambahan keterangan tadi tidak membatalkan teks pertama (asli), karena
sumber-sumber bahan yang baru selalu tampak dengan jelas.
iii. Membangun Hak
Cipta Penulisan
Ketika meneliti sebuah
manuskrip, yang penulisnya sudah lama meninggal dunia, bagaimana
hendak menetapkan bahwa isi kandungannya betul-betul milik pengarang
tersebut? Sebagaimana satu sistem yang jelas bahwa pemeriksaan mesti
mengesahkan setiap hadith, demikian halnya berlaku terhadap pada
kompilasinya. Gambar 12.5 menunjukkan satu judul halaman sebuah
manuskrip yang ringkasan terjemahannya berbunyi sebagai berikut:
Gambar 12.5: Kitab al-Ashribah.
Memuat catatan bacaan dari tahun 332 Hl 934 M. Sumber:
Perpustakaan Asad, Damaskus. |
Kitab al-Ashribah
[Buku mengenai bebagai minuman] oleh
Abu 'Abdillah Ahmad
bin Muhammad bin Hanbal,
dibacakan kepada
Abu
al-Qasim 'Abdullah bin Muhammad bin 'Abdul-'Aziz al-Baghawi ibn bint
Ahmad bin Mani'.
[Halaman kedua:]
Dengan Nama Allah yang
Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Permulaan
Kitab al-Ashribah. Abu al-Qasim 'Abdullah bin Muhammad
bin Abdul-'Aziz a1-Baghawi ibn bint Ahmad bin Mani'al-Baghdadi telah
dibacakan kepada kami di
Baghdad,
menyatakan
bahwa
Abu 'Abdillah Ahmad bin Hanba]
telah dibacakan
kepadanya pada tahun 228 dari bukunya...
Cara yang biasa
dipakai dalam menetapkan kesahihan karya ini adalah:
-
Memeriksa riwayat
hidup pengarang pertama (Ahmad bin Hanbal), yang kebanyakan tanpa
diragukan bersumber dari orang-orang yang hidup satu zaman dengannya.
Fokus pencarian kita tertumpu pada dua hal: pertama, guna memastikan
apakah Ibn Hanbal pernah menulis sebuah buku yang berjudul Kitab
al-Ashribah; kedua, menyusun daftar nama semua muridnya dan
menentukan apakah Abu al-Qasim ibn hint Ahmad bin Mani` termasuk di
antara mereka. Katakanlah ke dua-duanya ditemukan secara positif,
lalu kita meneruskan dengan:
-
Menganalisis riwayat
hidup Abu al-Qasim ibn bint Ahmad bin Mani`, dengan tujuan dua hal
juga. Pertama untuk menetapkan apakah ia seorang yang tepercaya,
selanjutnya menyusun daftar semua murid-muridnya.
-
Begitu pula
seterusnya, kita memeriksa riwayat hidup tiap-tiap jaringan mata
rantai perawinya.
Apabila penelitian
kita menyimpulkan bahwa Ahmad bin Hanbal pernah menulis dengan judul
tersebut, maka setiap jaringan mata rantai perawinya adalah
orang-orang yang tepercaya, dan menunjukkan mata rantai yang tidak
pernah putus, ketika itu baru kita memiliki wewenang menetapkan buku
karangannya. Biasanya, ada beberapa manuskrip yang tidak begitu jelas
dan kadang-kadang memusingkan; topik seperti itu di luar ruang lingkup
dasar kata pengantar ini. Namun bagi yang tertarik dengan hal itu,
saya sarankan agar menyimak buku siapa saja mengenai ilmu Mustalah
al-Hadith.43
15.
Perkataan thiqah di sini digunakan dalam arti literal,
bukan dalam arti istilah ilmu hadith .
16.
Qur'an 65: 2.
17. Qur'an 2: 282.
18.
As-Suyuti, Tadrib, I: 300.
19.
Al_Khatib, al-Kifayah,
hlm. 79.
20. Al-A'zami, Studies
in Early Hadith Literature, hlm. 305.
21. Untuk perincian selanjutnya
lihat al-A'zami, Studies in Early hadith Literature, hlm. 305,
309-310.
22. Al-Yamani, at-Tankll, hlm.
52-59.
23.
Mungkin ada yang hcran mengapa dua orang murid ini menanyakan
pertanyaan yang sama pada Ibn Ma'in. Alasannya sederhana sekali:
bagi Ibn Ma'in, yang merupakan ilmuwan terkemuka abad kedua dan
ketiga, menghampiri guru yang bertaraf lebih rendah untuk
membaca buku tentulah suatu yang mengejutkan.
24. Ibn Hibban,
Majruhin, VII: l la.
25. Al_A'zami,
Hadith Methodology, hlm. 52-53.
26. Hail Khalifah,
Kashfaz-Zunun, II: 1095-1108.
27. Adh-Dhahabi,
Tabaqat AI-Qurra', I: 85.
28. 'Abdus-Sabur Shahin,
Tarikh AI-Qur'an,
him. 88.
29. Lihat adh-Dhahabi,
Tabaqat AI-Qurra', I:
84.
30. Al_Mizzi,
Tahdhib al-Kamal, XII: 76-92.
31. Cerita ini juga
bisa dibantah secara logis. Kalau memang betul, pemyataan itu
mesti terjadi antara tahun
61 H. (kelahiran al-A'mash)
dan 93 H. (kewafatan
Anas bin Malik). Katakanlah itu terjadi pada tahun
75 H., yang ketika itu
al-A'mash berusia remaja empat bclas tahun. Ketika
membagi-bagikan Mushafnya pada tahun 25
H., `Uthman memberikan perintah keras
untuk memusnahkan semua naskah-naskah yang lebih awal; tidak ada
berita yang sahih yang menunjukkan bahwa para Sahabat menyanggah
Mushaf 'Uthmani. Jadi bagi Anas bin Malik, yang merupakan
anggota panitia Mushaf, untuk membuat pernyataan yang
asal-asalan mengenai topik yang berat itu adalah tidak dapat
dijamin, lebih-lebih lagi pada waktu dunia Islam baru saja
disatukan dalam satu teks selama lima puluh tahun.
32
Lihat adh-Dhahabi, al-Muqizah,
hlm. 77-78.
33. Lihat contohnya
Nuskhat Abu az-Zubair bin ',Adl al-Kufi,
naskah palsu yang dikemukakan pada hlm. 174.
34. R.G. Khoury,
Wahb bin Munabbih, Otto
Harrassowitz-Weisbaden, 1972, Band l, Teil 2, plate PB1. Tahun
227 H. sebenarnya ada di Plate GD1.
35.
Ibid., hlm. 118.
36. Lihat mana-mana
halaman dalam Muwatta' Malik, resensi Suwaid.
37. Untuk lebih rinci lihat
halaman berikut.
38. Al-A'zami, Studies in
Early Hadith Literature, appendix 4.
39. Ibn Habib, al-Muhabbar, hlm.
122.
40. Al_gukhari, Sahib,
I: 407; II: 107. Untuk contoh lain lihat Abu Dawud, Sunan,
hadith no. 2386; Muslim, Sahih, Satat: 63, hlm. 304.
41. P.W. Comfort, Early
Manuscript & Modem Translations of the New Testament, hlm. 6.
42. Emst Wurthwein,
The Text of the Old Testament, Edisi Kedua, W.B. Eerdmans
Publishing Company, Grand Rapids, Michigan, 1995, hlm. 17.
43. Contohnya Ibn Salah, al-Muqaddimah
fi `Ulum al-Hadith; ar-Remahurmuzi, al-Muhaddith al-Fasil;
Ibn Hajar, Nuzhat an-Na ar Sharh Nukhbat al-Fikr fi Mustalah
Ahl al-Athar.
|
|