BAB 18 :
ORIENTALIS DAN AL-QURAN
The
History of The Qur'anic Text hal 337 - 343
Kontroversi
seputar tulisan Arab kuno dan Mushaf Ibn Mas'ud sudah dibahas,
sekarang kita alihkan perhatian pada spektrum yang lebih luas mengenai
serangan Orientalis terhadap Al-Qur'an dalam berbagai dimensi untuk
dapat menyajikan suatu citra beberapa upaya dan tujuan Barat dalam
mencemarkan kemurnian teks Al-Qur'an menggunakan sumber-sumber tidak
etik dan penipuan.
1. Perlunya
Pembuktian Penyimpangan dalam Al-Qur'an
Dengan maksud hendak membuktikan moralitas
dan superioritas teologi Barat, Bergtrasser, Jeffery, Mingana, Pretzl,
Tisdal dan banyak lagi lainnya, telah mencurahkan seluruh kehidupannya
guna menyingkap perubahan teks Al-Qur'an yang, katanya, tidak mereka
dapatkan dalam kajian kitab Injil. Seperti tampak dalam bab sebelumnya,
banyak sekali perbedaan yang memenuhi halaman-halaman dalam Kitab
Injil, "Cette masse enorme depasse ce dont on dispose pour n'import
quel texte antique; elle a fourni quelque 200,000 variantes. La
plupart sont des variants insignifiantes... Deja Wescott et Hort, en
donnant ce chiffre, constataient que les sept huitieme du texte
etaient assures... Il y en a pourtant".1
Jika lihat secara keseluruhan, tampak melemahkan isu-isu penting dalam
teologi dan menimbulkan keprihatinan mengenai adanya cerita-cerita
palsu yang disisipkan ke dalam teks melalui pengaruh masyarakat umum.
Sementara desakan untuk membuktikan keadaan yang sama terhadap
Al-Qur'an mulai menggejala semenjak beberapa tahun lalu disebabkan
oleh perubahan peta politik Timur Tengah, namun upaya-upaya dalam
bidang ini kebanyakan telah dimulai lebih awal dari perhatian mereka.
Di antara karya-karya sebagaimana sejarah telah mencatat:
-
A. Mingana and A. Smith (ed.), Leaves from Three Ancient Qurans,
Possibly Pre-'Othmanic with a List oftheir Variants, Cambridge,
1914;
-
G. Bergtrasser, "Plan eines Apparatus Criticus zum Koran",
Sitrungsberichte Bayer. Akad., Munchen, 1930, Heft 7;
-
O. Pretzl, "Die Fortfuhrung des Apparatus ('riticus zum Koran",
Sitzungsberichte Bayer. Akad., Miinchen, 1934, Heft 5; dan
-
A.
Jeffery, The Qur'an as Scripture, R.F. Moore Company, Inc., New
York, 1952.
Jeffery barangkali yang paling banyak
menguras tenaga dalam masalah ini.
2. Kritikan Orientalis Terhadap Kompilasi AI-Qur'an
Tampaknya terdapat beberapa pintu gerbang yang
digunakan sebagai alat penyerang terhadap teks AI-Qur'an, salah satunya adalah
menghujat tentang penulisan serta kompilasinya.2
Dengan semangat ini pihak Orientalis mempertanyakan mengapa, jika Al-Qur'an
sudah ditulis sejak zaman Nabi Muhammad
`Umar
merasa khawatir dengan kematian para huffaz pada peperangan Yamamah,
memberi tahu Abu Bakr akan kemungkinan lenyapnya Kitab Suci ini lantaran
kematian mereka.3
Lebih jauh lagi, mengapa bahan-bahan yang telah ditulis tidak disimpan di bawah
pemeliharaan Nabi Muhammad
sendiri? Jika demikian
halnya, mengapa pula Zaid bin Thabit tidak dapat memanfaatkan dalam menyiapkan
Suhuf itu? Meskipun berita itu diriwayatkan oleh al-Bukhari dan dianggap sah
oleh semua kaum Muslimin, penjelasan itu tetap dianggap oleh kalangan Orientalis
bahwa apa yang didiktekan sejak awal dan penulisannya dianggap palsu.
Mungkin karena kedangkalan ilmu, berlaga tolol (tajahul),
atau pengingkaran terhadap kebijakan pendidikan kaum Muslimin merupakan
permasalahan sentral yang melingkari pendirian mereka. Katakanlah terdapat satu
naskah Al-Qur'an milik Nabi Muhammad
mengapa beliau
lalai menyerahkannya pada para Sahabat untuk disimak dan dimanfaatkan? Besar
kemungkinan, di luar perhatian, tiap nasikh-mansukh, munculnya wahyu baru,
ataupun perpindahan urutan ayat-ayat tidak akan tecermin dalam naskah di
kemudian hari. Dalam masalah ini, beliau akan membuat informasi keliru dan
melakukan sesuatu yang merugikan umatnya; kerugian yang ada dirasa lebih besar
dari manfaatnya. Jika naskah itu terdapat, mengapa Zaid bin Thabit tidak
memakainya sebagai narasumber di zaman pemerintahan Abu Bakr? Sebelumnya, telah
saya kemukakan bahwa guna mendapat legitimasi sebuah dokumen, seorang murid
mesti bertindak sebagai saksi mata dan menerima secara langsung dari guru
pribadinya. Jika unsur kesaksian tidak pernah terwujud, adanya buku seorang
ilmuwan yang telah meninggal dunia, misalnya, akan menyebabkan kehilangan nilai
teks itu. Demikianlah apa yang dilakukan oleh Zaid bin Thabit. Dalam mendikte
ayat-ayat Al-Qur'an kepada para Sahabat, Nabi Muhamtnad
, melembagakan sistem jaringan jalur riwayat yang
lebih tepercaya didasarkan pada hubungan antara guru dengan murid; sebaliknya,
karena beliau tidak pernah menyerahkan bahan-bahan tertulis, maka tidak ada
unsur kesaksian yang terjadi pada naskah kertas kulit yang dapat digunakan
sebagai sumber utama untuk tujuan perbandingan, baik oleh Zaid maupun orang
lain.4
Tetapi jika keseluruhan Al-Qur'an telah direkam
melalui tulisan semasa kehidupan Nabi Muhammad
dan
disimpan baik dalam pengawasan beliau maupun para Sahabat, mengapa pula `Umar
takut kehilangan Al-Qur' an karena syahidnya para huffaz? Hal ini, sekali
lagi, menyangkut tentang hukum persaksian.
Dengan jumlah yang ribuan, para huffaz
memperoleh ilmu pengetahuan Al-Qur'an mela]ui satu-satunya otoritas yang saling
beruntun di muka bumi ini yang, akhirnya, sampai pada Nabi Muhammad
Setelah beliau wafat, mereka (para sahabat) menjadi
sumber otoritas yang juga saling beruntun; kematian mereka hampir-hampir telah
mengancam terputusnya kesaksian yang berakhir pada Nabi Muhammad
, yang mengakibatkan untuk mendapat ilmu yang diberi
otoritas kurang memungkinkan. Demikian juga apabila mereka mencatat ayat-ayatnya
menggunakan tulisan tangan akan kehilangan nilai sama sekali, karena pemiliknya
sudah masuk ke liang lahat dan tidak dapat memberi pengesahan tentang
kebenarannya. Kendati mungkin terdapat secercah bahan tulisan yang secara tak
sengaja persis sama dengan Al-Qur'an seperti yang dihafal oleh yang lain, selama
masih terdapat saksi utama yang sesuai, ia akan menjadi paling tinggi, menempati
urutan ke tiga dari dokumen yang sah. Itulah sebabnya dalam membuat kompilasi
Suhuf, Abu Bakr bertahan pada pendiriannya bahwa setiap orang bukan saja
mesti membawa ayat, melainkan juga dua orang saksi guna membuktikan bahwa
penyampaian bacaan itu datang langsung dari Nabi Muhammmad
(kita temukan hukum kesaksian ini juga dihidupkan
kembali di zaman pemerintahan `Uthman). Ayat-ayat yang telah ditulis tetap
terpelihara dalam rak-rak dan lemari simpanan, baik tanah Yamamah itu mengisap
darah para huffaz ataupun tidak, akan tetapi otoritas saksi yang
merupakan poin paling penting dalarn menentukan keutuhan nilai sebuah dokumen,
yang paling dijadikan titik sentral kekhawatiran ' Urnar.
3. Perubahan
Istilah Islam pada Pemakaian Ungkapan Asing
Pintu gerbang kedua masuknya serangan
terhadap Al-Qur'an adalah melalui perubahan besar-besaran studi
keislaman menggunakan peristilahan orang Barat. Dalam karyanya
Introduction to Islamic Law, Schacht membagi fiqih Islam kepada
judul judul berikut: orang (persons), harta (property),
kewajiban umum (obligations in general), kewajiban dan kontrak
khusus (obligations and contracts in particular), dan
lain-lain.5
Susunan seperti ini sengaja diperkenalkan hendak mengubah hukum Islam
pada hukum Romawi yang tidak ada kaitannya sama sekali dengan topik
bahasan serta pembagiannya yang digunakan dalam sistem
perundang-undangan Islam. Wansbrough melakukan hal yang sama terhadap
Al-Qur'an dengan membagi Quranic Studies menurut ketentuan
berikut: Prinsip-prinsip penafsiran (Principles of Exegesis)
(1) Tafsiran Masoreti (Masoretic exegesis); (2) Penafsiran
Hagadi (Haggadic exegesis); (3) Deutungsbedurftigkeit; (4)
Penafsiran Halaki (Halakhic exegesis); dan (5) Retorika dan simbol
perumpamaan (Rhetoric and allegory).6
Tafsir-tafsir seperti ini menghabiskan
lebih dari separuh buku yang ditulis di mana jika saya bertanya pada
para ilmuwan Muslim baik dari Timur mau pun yang berlatar belakang
pendidikan Barat, tak akan mampu memahami semua daftar isi buku
tersebut. Barangkali hanya seorang pendeta Yahudi yang dapat
menjelaskan peristilahan Perjanjian Lama, namun hal ini akan sama
nilainya seperti seorang pendeta memaksakan baju tradisi mereka pada
seorang sheikh. Mengapa mereka begitu bergairah mengubah istilah
Islam, di mana tujuannya tak lain hendak memaksakan sesuatu yang di
luar jangkauan bidang para ilmuwan Muslim, guna menunjukkan bahwa
hukum mereka bersumber dari Yahudi dan Kristen?
4. Tuduhan Orientalis
terhadap Penyesusian
Hal ini akan menggiring memasuki pintu
gerbang ketiga dalam menyerang terhadap Al-Qur'an: perulangan tuduhan
yang ditujukan kepada Islam hanya merupakan pemalsuan terhadap agama
Yahudi dan Kristen, atau bagian dari sikap curang dalam memanfaatkan
literatur Kitab Suci untuk kepentingan sendiri. Wanshrough, sebagai
seorang penggagas tak tergoyahkan dalarn pemikiran ini tetap ngotot,
misalnya, ia menyatakan, "Doktrin ajaran Islam secara umum, hahkan
ketokohan Muhammad, dihangun di atas prototype kependetaan agama
Yahudi."7
Disini, kita hendak mengkaji rasa sentimen ke dua orang ilmuwan
tersebut yang menulis menggunakan alur pemikiran yang senada.
i. Tuduhan dan Penyesuaian Kata yang
Merusakkan
Dalam satu artikel Encyclopedia
Britannica (1891) Noldeke, tokoh Orientalis, menyebutkan banyak
kekeliruan di dalam Al-Qur'an karena, katanya, "kejahilan Muhammad"
tentang sejarah awal agama Yahudi - kecerobohan nama-nama dan
perincian yang lain yang la curi dari sumber-sumber Yahudi.8
Dengan membuat daftar kesalahan la menyebut:
[Bahkan] orang Yahudi yang paling tolol
sekalipun tidak akan pernah salah menyebut Haman (menteri Ahasuerus)
untuk menteri Fir'aun, ataupun menyebut Miriam saudara perempuan Musa
dengan Maryam (Miriam) ibunya al-Masih.... [Dan] dalam kebodohannya
tentang sesuatu di luar tanah Arab, ia menyebutkan suburnya negeri
Mesir -di mana hujan hampir- hampir tidak pernah kelihatan dan tidak
pernah hilang- karena hujan, dan bukan karena kebanjiran yang
disebabkan oleh sungai Nil (xii. 49).9
Ini merupakan satu upaya yang menyedihkan
hendak mengubah wajah Islam menggunakan istilah orang lain, siapa
orangnya yang menyebut bahwa Fir'aun tidak memiliki seorang menteri
yang bernama Haman, hanya karena tidak disebut dalam Kitab Suci yang
terdahulu? Dalam kebohongannya Noldeke tidak malu menunjuk bahwa
Al-Qur'an menyebut Maryam (Ibu al-Masih) sebagai "saudara perempuan
Harun",10
bukan Musa. Harun ada di jajaran terdepan dalam kependetaan
orang-orang bani Israel; yang menurut Perjanjian Baru, Elizabeth,
saudara sepupu Maryam dan juga ibunya Yunus, semua lahir dari keluarga
pendeta, lantaran itu merupakan "anak-anak perempuan Harun."11
Dengan kepanjangan itu,
kita dapat secara meyakinkan mengatakan baik Maryam atau Elizabeth
sebagai "saudara-saudara perempuan Harun" atau "anak-anak perempuan `Imran"
(ayah Harun).12
Apakah tuduhan Noldeke mengenai kesuburan
negeri Mesir? Membanjirnya Sungai Nil adalah karena di sebagian daerah,
sumber utama, karena adanya perbedaan curah hujan, seperti telah
dibuktikan para pakar lingkungan, namun demikian mari kita singkirkan
terlebih dulu akan hal ini dan lihatlah ayat 12: 49 yang mengatakan:
"Kemudian setelah itu akan datang tahun yang padanya manusia
akan diselamatkan, dan di masa itu mereka memeras anggur. " |
Saya serahkan kepada para pembaca meneliti
sendiri ada atau tidaknya penyebutan kata hujan pada ayat itu,
sebenarnya tuduhan seperti itu muncul dari kekalutan pikiran Noldeke
terhadap kata benda "hujan" dan "pengucapannya".
ii. Sebuah Injil Palsu
Ini satu tuduhan lagi yang dialamatkan
terhadap Al-Qur'an oleh Hirschfeld.13
Jika kata Injil
ditujukan pada Perjanjian Baru, mari kita ingat kembali dua doktrin
utama dalam agama Kristen: Dosa Warisan dan Penebusannya. Yang pertama
adalah warisan otomatis yang ada pada setiap insan, karena mereka
keturunan Adam, sedang yang ke dua karena terbentuknya kepercayaan
bahwa Tuhan telah mengorbankan satu-satunya Anak yang lahir ke dunia
sebagai penghapus dosa. Tetapi Al-Qur'an dengan tegas menolak
kedua-duanya:
"Kemudian Adam menerima beberapa kalimat dari Tuhannya,
maka Allah menerima tobatnya. "14 |
"Dan
tidaklah seorang membuat dosa melainkan kemudharatannya kembali kepada
dirinya sendiri; dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa
orang lain."15
Trinitas dan penyelamatan melalui al-Masih,
sebagai esensi ajaran Kristen, tidak diberi peluang sama sekali dalam
Al-Qur'an, sementara cerita-cerita Injil yang ada tidak lebih dari
sekadar masalah kesejarahan, bukan keyakinan ideologi.
"Katakanlah, "Dialah Allah, Yang Maha Esa.
Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya segala sesuatu. Dia
tiada beranak dan tiada pula diperanakkan, dan tidak seorang pun yang
setara dengan Dia. "16
Jadi, sebenarnya di manakah asal usul
pemalsuan itu? Adapun mengenai penyesuaian dari Perjanjian Lama (sebagaimana
dituduhkan oleh Wansbrough, Noldeke, dan lainnya), apa perlunya Nabi
Muhammad mengungkapkan satu Kitab Suci
yang menggambarkan Yahweh sebagai Tuhan yang bersifat kesukuan, bahkan
tidak dihubungkan dengan kaum Samaritan dan kaum Edomit, tetapi
semata-mata pada Bani Israel? Sejak awal pembukaan kitab, kita dapati
Al-Qur'an mengatakan:
"Dengan menyebut nama Allah yang Maha
Pengasih lagi Maha Penyayang. Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta
alam. "17
Ini merupakan sebutan universal sifat
Allah, yang melintasi batas kesukuan dan bangsa berlandaskan pada
ketentuan keimanan. Seseorang tentunya tidak akan dapat menempel buah
mangga yang gemuk atau subur pada satu cabang berduri dari sebatang
pohon kaktus yang rapuh.
1.
A. Robert dan A. Feuillet (cds.), Introduction a la Injil, tome 1 (Introduction
Generale, Ancien Testament), Desclce & Cie, 1959, hlm. 111. Terjemahan kasamya,
Perjanjian Baru memiliki 200,000 perbedaan, tapi kebanyakan tidak penting (contohnya
banyak jenis ejaan). Westcott dan Hort, ketika memberi angka ini, menyatakan
bahwa tujuh per delapan teks dapat dipastikan kedudukannya; namun terdapat
banyak perbedaan yang cukup penting. Yang menarik adalah angka 200,000 itu
dikurangi menjadi 150,000 dalam karya terjemahan berbahasa Inggris di atas [A.
Robert dan A. Feuillet, Interpreting the Scripture, diterjemahkan oleh
P.W. Skehan dkk., Desclee Company, NY, 1969, hlm. 115] Lihat tulisan ini hlm.
317-323.
2. Menurut Jeffery, "Para ilmuwan Barat tidak
sependapat bahwa susunan teks Al-Qur'an yang ada di tangan kita sekarang, sama
dengan apa yang terdapat pada zaman Nabi Muhammad
" [Masahif, Introduction,
hlm. 5]. Di sini apa yang dimaksud Jeffery adalah susunan surah dan ayat-ayatnya.
3. Lihat tulisan ini hlm. 84.
4. Kembali ke hlm. 90-91, hadith Sawwar bin Shabib mengatakan
bahwa Zaid membandingkan Mushaf `Uthman dengan naskah Al-Qur'an Nabi sendiri.
Kalau itu memang naskah Nabi sendiri yang di simpan dalam penjagaan `A'ishah,
maka Zaid telah mendapatkannya dengan status sekunder dalam upaya tersebut.
5.
J. Schacht, An Introduction to Islamic Law, Oxford Univ. Press, 1964, Isi
Kandungan.
6. J.
Wansbrough, Quranic Studies, Isi Kandungan.
7.
Lihat R.S. Humpreys, Islamic History: A Framework for Inquiry Revised edition,
Princeton Univ. Press, 1991, hlm. 84.
8.
Lihat "The Koran", Encyclopedia Britannica, ed. ke 9, 1891, jld. 16, hlm.
597ff. Dicetak kembali dalam Ibn Warraq (ed.), The Origins of the
Koran: Classic Essays on Islam's Holy Book, Prometheus Books, Amherst, NY,
1998, hlm. 36-63.
9.
T. Noldeke, "The Koran", dalam Ibn Warraq (ed.), The Origins of the
Koran, hlm. 43.
10.
Qur'an 19:28.
11. Lukas 1: 5. Lihat juga Lukas I : 36.
12. Lihat terjemahan Al-Qur'an oleh Yusuf Ali, komentar mengenai ayat
3: 35 dan 19: 28.
13. A. Mingana, "The Transmission of the Koran", dalam Ibn
Warraq (ed.), The Origins of the Koran, hlm. 112.
14. Qur'an 2: 37.
15.
Qur'an 6: 164.
16.
Qur'an 112: 1-4.
17.
Qur'an 1: l-2
|
|