BAB 11 :
PENYEBAB MUNCULNYA RAGAM BACAAN
The
History of The Qur'anic Text hal 167 - 182
Salah satu pintu
gerbang masuknya serangan pihak Orientalis terhadap Al-Qur'an adalah
membuat kekacauan terhadap naskah teks Al-Qur'an itu sendiri. Menurut
perkiraan saya, terdapat lebih dari
250,000 naskah AI-Qur'an dalam bentuk
manuskrip, secara lengkap maupun sebagian-sebagian, sejak abad pertama
hijrah hingga hari ini. Kesalahan-kesalahan telah diklasifikasikan
dalam lingkungan akademik pada dua kelompok disengaja maupun tidak,
dan dalam koleksi manuskrip yang banyak ini sudah pasti dalam sekejap
mata para penulis boleh melakukan kesalahan yang tidak disengaja.
Ilmuwan yang membahas subjek itu tahu dan paham betul bagaimana
susahnya kesalahan konsentrasi sesaat dapat membahayakan, sebagaimana
dibicarakan secara gamblang dalam beberapa karya tulis berikut ini:
(1) Ernst Wurthwein, The
Text of the Old Testament,
edisi kedua yang telah direvisi dan diperluas, William B. Eerdmans
Publishing Company, Grand Rapids, Michigan, 1995; (2) Bart D. Ehrman,
The Orthodox
Corruption
of Scripture,
Oxford Univ. Press, 1993; dan (3)
Bruce M. Metzger, The Text of the
New Testament,
Edisi ketiga,
Oxford Univ. Press,
1992.
Buku pertama mengupas
PL (Perjanjian Lama) dan yang lainnya tentang PB (Perjanjian Baru).
Semua karya tulis tersebut mengelompokkan kesalahan dengan memakai
istilah seperti transposisi, haplografi, dan dittografi yang
kadang-kadang ditujukan pada penulis yang sudah meninggal dunia guna
mengalihkan perhatian yang ada dalam pikirannya di mana ia melakukan
kesalahan sejak ribuan tahun yang silam.1
Hanya saja perlakuan seperti itu tidak mungkin dapat diterapkan
terhadap Al-Qur'an, di mana terjadinya banyak kesalahan-yang jelas ada
akibat keletihan dalam penulisan-dianggap sebagai variasi yang
betul-betul terjadi, sebagai bukti yang dianggap dapat merusak kitab
suci kaum Muslimin.
Betul bahwa ini sangat
susah dalam menentukan apakah kesalahan ini disengaja atau tidak;
untuk marilah kita selesaikan dua kemungkinan yang dapat mengakibatkan
kerusakan teks Al-Qur'an.
Sebagaimana kita
maklumi, Mushaf 'Uthmani betul-betul minus tanda titik. Goldziher
yakin bahwa perbedaan bacaan dalam Al-Qur'an adalah akibat kekeliruan
dalam penulisan bahasa Arab (palaeografi) zaman dulu, tidak ada titik
dan tidak ada tanda diakritikal. Oleh karena itu, bentuk kata fil
saat dibuang tanda titiknya memungkinkan lahirnya ragam bacaan seperti:
,
Ini berarti: dia telah
dibunuh seekor gajah sebelum mencium tubuh bagian depan seperti
yang telah
disebut.2 Dalam bab ini saya akan mencoba menolak anggapan tentang
palaeografi Arab yang tidak mempunyai tanda titik sebagai sumber
kerusakan, distorsi, dan penyelewengan terhadap Al-Qur' an.
1. Sistem Bacaan (Qira'at) Sebagai
Sunnah
Ilmu
qira'at
yang benar (ilmu seni
baca AI-Qur'an secara tepat) diperkenalkan oleh Nabi Muhammad saw.
sendiri, suatu praktik (sunnah)
yang menunjukkan tata cara bacaan setiap ayat. Aspek ini
juga berkaitan erat dengan
kewahyuan AI-Qur'an: Teks Al-Qur'an telah diturunkan dalam
bentuk ucapan lisan dan dengan mengumumkannya secara lisan pula
berarti Nabi Muhammad saw. secara otomatis menyediakan teks dan cara
pengucapannya pada umatnya. Kedua-duanya
haram untuk bercerai.
'Umar dan Hisham
bin Hakim
ketika berselisih bacaan tentang sepotong ayat dalam
Surah al-Furqan walaupun
pernah sama-sama belajar langsung dari Nabi Muhammad saw., 'Umar
bertanya pada Hisham siapa yang telah mengajarnya. Dia menjawab, "Nabi
Muhammad 3 Kejadian serupa dialami oleh Ubayy bin Ka'b.4
Tidak ada seorang sahabat yang berani mengada-ada membuat silabus
sendiri: semua bacaan sekecil apa pun merupakan warisan Nabi Muhammad
.
Kita juga menemukan
seorang ahli tata bahasa5
yang
menyatakan bahwa bacaan kata-kata tertentu, menurutnya, lebih disukai
jika mengikuti tata cara aturan bahasa karena perubahan dalam tanda
diakritikal tidak membawa makna yang berarti. Walau demikian,
ilmuwan-ilmuwan tetap memegang teguh sistem bacaan yang diperkenalkan
melalui saluran atau sumber yang sah guna menolak usaha mengada-ada
serta tetap mempertahankan pandangan bahwa
qira'at hukumnya sunnah
yang tidak ada seorang pun memiliki wewenang untuk mengubah seenaknya.
Kita perlu mencatat,
biasanya orang-orang tidak mau membeli Mushaf di pasar murahan setelah
selesai belanja waktu pagi dari penjual ikan dan sayuran
lalu pulang menghafal surah secara
pribadi.6
Belajar secara lisan
melalui seorang instruktur yang memiliki otoritas keilmuan sangat
diperlukan, biasanya rata-rata lima ayat per hari. Tradisi ini
terjadi di akhir seperempat pertama abad pertama hijrah ketika Abu
Bakr bin 'Ayyash (w. 193 H.) belajar Al-Qur'an dari Ibn Abi an-Najud
(w. 127 H.) sewaktu masih muda.7
Artinya, tidak ada bacaan bermula dari kevakuman atau hasil
tebakan seorang penggubah yang dilakukan secara pribadi di mana ketika
mulai muncul lebih banyak bacaan orang-orang yang memiliki otoritas,
semua sumber dapat dilacak sampai kepada Nabi Muhammad
Pada zaman sahabat muncul sebuah buku tentang subjek ragam bacaan yang
dibuat untuk kepentingan masa depan dalam skala kecil.8
Dengan waktu yang telah menyaksikan perkembangan buku yang semakin
banyak untuk membandingkan bacaan ilmuwan yang terkenal dari beberapa
pusat keilmuan, ujung tombak terdapat dalam buku Ibn Mujahid.
2. Perlu Banyak Ragam Sistem Bacaan:
Penyederhanaan Bacaan bagi Mereka yang tak Biasa (Non Arab)
Kesatuan dialek yang sudah Nabi
biasa dengannya sewaktu
masih di Mekah mulai sirna setibanya di Madinah. Dengan meluasnya
ekspansi Islam melintasi belahan wilayah Arab lain dengan suku bangsa
dan dialek baru, berarti berakhirnya dialek kaum Quraish yang dirasa
sulit untuk dipertahankan. Dalam kitab sahihnya, Muslim mengutip
hadith berikut ini:
Ubayy bin Ka'b
melaporkan bahwa ketika Nabi
berada dekat lokasi banu Ghifar Malaikat Jibril datang dan berkata,
"Allah telah menyuruh kamu untuk membaca Al-Qur'an kepada kaummu dalam
satu dialek," lalu Nabi
bersabda, "Saya mohon Ampunan Allah. Kaumku tidak mampu untuk itu"
lalu Jibril datang lagi untuk kedua kalinya dan berkata, "Allah telah
menyuruhmu agar membacakan Al-Qur'an pada kaummu dalam dua dialek,"
Nabi Muhammad
lalu menjawab, "Saya mohon ampunan Allah. Kaumku
tidak akan mampu melakukannya," Jibril datang ketiga kalinya dan
berkata, "Allah telah menyuruhmu untuk membacakan Al-Qur'an pada
kaummu dalam tiga dialek," dan lagi-lagi Nabi Muhammad
berkata, "Saya
mohon arnpunan Allah, Kaumku tidak akan mampu melakukannya," Lalu
Jibril datang kepadanya keempat kalinya dan menyatakan, "Allah telah
mengizinkanmu membacakan Al-Qur'an kepada kaummu dalam tujuh dialek,
dan dalam dialek apa saja mereka gunakan, sah-sah saja."9
Ubayy (bin Ka'b) juga melaporkan.
Rasulullah
bertemu Malaikat jibril di Batu Mira' (di pinggiran
Madinah, dekat Quba) dan berkata kepadanya, " Saya telah diutus kepada
suatu bangsa buta huruf, di antaranya, orang tua miskin, nenek-nenek,
dan juga anak-anak," Jibril menjawab, "Jadi suruh saja mereka membaca
Al-Qur'an dalam tujuh dialek (ahruf)."
Lebih dari dua puluh sahabat telah
meriwayatkan hadith yang mengukuhkan bahwa Al-Qur'an telah
diturunkan dalam tujuh dialek (
).11
Di sini kita tambahkan bahwa ada empat puluh pendapat ilmuwan tentang
makna ahruf (secara literal: huruf-huruf). Beberapa dari kalangan
mereka mengartikannya begitu jauh, tetapi kebanyakan sepakat bahwa
tujuan utama adalah memberi kemudahan membaca Al-Qur'an bagi mereka
yang tidak terbiasa dengan dialek orang Quraish. Konsesi diberikan
melalui anugerah Allah
Sebelumnya telah kita lihat bagaimana
dialek yang berlainan telah memicu perselisihan pada dasawarsa
berikutnya, di mana mempercepat langkah 'Uthman menyiapkan sebuah
Mushaf dalam dialek orang Quraish. Akhirnya, jumlah semua ragam
bacaan yang terdapat dalam kerangka lima Mushaf resmi tidak lebih dari
empat.puluh karakter, dan seluruh pembaca yang ditugaskan mengajar Al-Qur'an wajib mengikuti teks Mushaf tersebut
dan agar meneliti sumber
otoritas dari mana mereka mempelajari bacaan sebelumnya. Zaid bin
Thabit, orang yang begitu penting dalam pengumpulan Al-Qur'an,
menyatakan bahwa (
)12 ("Seni bacaan (qira'at) Al-Qur'an
merupakan sunnah yang mesti dipatuhi dengan sungguh-sungguh").
Penjelasan akan hal ini telah kita masukan ke dalam bab-bab sebelumnya.
Variasi adalah suatu istilah yang saya
sebenarnya kurang begitu sreg memakainya. Dalam masalah tertentu,
istilah itu secara definitif dapat memberi nuansa akan ketidakpastian.
Jika pengarang ash menulis satu kalimat dengan caranya sendiri,
kemudian rusak akibat kesalahan dalam menulis lalu kita perkenalkan
prinsip ketidakpastian; akhirnya penyunting yang tak dapat membedakan
mana yang betul dan mana yang salah, akan meletakkan apa yang ia
sangka sesuka hatinya ke dalam teks, sedangkan lainnya dimasukkan ke
dalam catatan pinggir. Demikian halnya dengan masalah variasi (ragam
bacaan). Akan tetapi masalah Al-Qur'an jelas berlainan karena Nabi
Muhammad , satu-satunya khalifah Allah sebagai penerima wahyu dan
transmisinya, secara pribadi mengajarkan ayat-ayat dalam banyak cara.
Di sini tak ada dasar keragu-raguan, tak terdapat istilah kabut hitam
maupun kebimbangan, dan kata `varian'tampak gagal dalam memberi arti
yang masuk akal. Kata multiple jauh dapat memberi penjelasan akurat,
oleh karena itu, di sini saya hendak menggiring mereka pada pemakaian
"multiple reading' (banyak bacaan). Salah satu alasan yang
melatarbelakangi fenomena ini adalah adanya perbedaan dialek dalam
bahasa Arab yang perlu diberi tempat selekas mungkin, seperti telah
kita bicarakan di atas. Alasan kedua dapat jadi merupakan sebuah upaya
memperjelas masalah dengan cara yang lebih baik, beberapa makna yang
tersirat dalam ayat tertentu dengan menggunakan dua kata, yang
semuanya muncul resmi dari perintah Allah Contoh yang sangat
jelas dalam hal ini adalah Surah al-Fatihah, di mana ayat ke
empat dibaca malik (Pemilik) atau malik (Raja) di hari pembalasan.
Kedua-dua kata tadi diajarkan oleh Nabi Muhammad
, dan oleh karena
itu menjadikannya bacaan yang banyak (multiple), bukan beragam
(variant).
Tidak heran jika para orientalis menolak
keterangan yang diberikan oleh pihak Muslim dan ingin coba-coba
merekayasa teori sendiri. Sebagai kepanjangan upaya membuat Al-Qur'an edisi kritikal, tujuannya ingin menyoroti variasi bacaan. Pada tahun 1926 Arthur
Jeffery menyepakati bekerja sama dengan Prof Bergstrasser dalam
menyiapkan sebuah arsip materi (potongan ayat-ayat Al-Qur'an) agar di
suatu masa memungkinkan menulis sejarah perkembangan teks Al-Qur'an.13
Dalam pencariannya dia meneliti kurang lebih 170 jilid-beberapa sumber
masih dapat dipercaya, namun banyak bernilai kelas murahan. Koleksinya
tentang varian sampai 300 halaman dalam bentuk cetak, mencakup
Mushaf pribadi yang dihasilkan oleh sekitar tiga puluh orang ilmuwan.
Dalam bab ini saya akan membatasi diri melakukan kajian kritis pada
satu aspek jerih payah yang dilakukan Jeffery, hasil karyanya tentang
variants. Sedang aspek lain kita akan jabarkan kemudian.
3. Penyebab Utama
Munculnya Banyak (Multiple) Bacaan
(Variants, beragam): Pandangan Orientalis
Menurut Jeffery kekurangan tanda titik
dalam Mushaf `Uthmani berarti merupakan peluang bebas bagi pembaca
memberi tanda sendiri sesuai dengan konteks makna ayat yang ia
pahami.14
Jika ia menemukan kata tanpa tanda titik boleh saja dibaca: atau
sesuai dengan pilihan karakternya.
Menggunakan tanda titik dan tanda lainnya amat diperlukan guna
menyesuaikan pemahaman sendiri terhadap ayat itu. Sebelum zaman
Jeffery, Goldziher dan lainnya berusaha meyakinkan bahwa menggunakan
skrip yang tidak ada tanda titik telah mengakibatkan munculnya
perbedaan. Dalam memperkuat anggapannya, Goldziher menyuguhkan
beberapa contoh potensial yang ia bagi ke dalam dua kelompok.15
-
Perbedaan karena tidak ada
kerangka tanda titik. Tiga contoh mungkin cukup:
.
a.
dapat dibaca:
16
b.
dapat dibaca:
17
c.
dapat
dibaca: 18
-
Perbedaan karena tidak adanya
tanda diakritikal
Bagi yang tidak begitu mengenal sejarah
seni baca Al-Qur'an (qira'at), contoh seperti itu mungkin dianggap sah.
Tetapi walau bagaimanapun semua teori harus berhadapan pada ujian
terlebih dulu sebelum dipertimbangkan sebagai teori yang sah, dan
kajian Islam sayangnya berkembang dengan satu cara yang slap pakai
tanpa memerlukan ujian segala. Jadi marilah kita evaluasi
pernyataan-pernyataan mereka.
Tampaknya Jeffery dan Golziher benar
melupakan tradisi pengajaran secara lisan, satu mandat atau perintah
yang hanya melalui seorang instruktur kelas kakap, ilmu Islam dapat
diperoleh. Banyak sekali ungkapan Al-Qur an yang dapat secara
kontekstual memasukkan lebih dari satu titik dan tanda diakrikital,
tetapi dalam banyak hal, seorang ilmuwan hanya membaca dengan satu
cara. Ketika perbedaan muncul (dan ini sangat jarang terjadi) kedua
kerangka bacaan tetap mengacu pada Mushaf 'Uthmani, dan tiap kelompok
dapat menjustifikasi bacaannya atas dasar otoritas mata rantai atau
silsilah yang berakhir pada Nabi Muhammad saw.19 Atas dasar ini kita
dapat menyingkirkan tiap pembaca yang memberi pendapat nyleneh ingin
memasukkan titik dan tanda diakritikal menurut selera keinginan
dirinya. Walaupun telah banyak fakta dalam teori mereka, hendaknya mau
mempertimbangkan jumlah pembaca dan ribuan kerangka (naskah) yang
dapat dibaca melalui empat atau lima cara; Jumlah perbedaan tidak
mencapai angka ratusan ribu atau mungkin jutaan. Ibn Mujahid (w. 324
H.) menghitung, seluruh Mushaf semuanya hanya ada kira-kira satu ribu
multiple bacaan saja.20 Membandingkan teori dengan kenyataan
ini hanya untuk menunjukkan kesalahan hipotesis mereka.
Beberapa contoh konkret untuk membantu memperkuat pendapat saya:
-
Contoh pertama (dalam kolom pertama,
kata yang diragukan diberi tanda dengan warna yang berbeda; kolom
tengah adalah rujukan surah: ayat):
Kata
yang berwarna dalam
tiga ayat dapat dibaca menurut konteksnya seperti khat atau khat
-
Contoh kedua:
Secara kosakata (leksikografi)
kedua-dua bentuk adalah sah pada setiap kasus.
-
Contoh ketiga
Sekali lagi,
Menurut leksikografi kedua-dua bentuk ini adalah sah pada setiap ayat.21
Saya dapat menggoreskan tinta pena lebih kuat dengan mengangkat contoh
lebih banyak lagi, tetapi contoh di atas sudah dirasa cukup untuk
membuktikan pendapat saya. Secara literal ada ribuan contoh di mana
kedua-dua bentuk kata secara kontekstual adalah sah tetapi hanya satu
yang dipakai secara kolektif; jadi sebenarnya banyak lagi contoh yang
sama dengan yang mereka kemukakan dan malahan mengungguli teori
Jeffery dan Goldziher.
Sekarang mari kita
bertanya: memasukkan tanda titik kepada teks
yang minus titik,
kapan kesalahan tekstual yang mengakibatkan kerusakan dan menjadi
bahaya? Ketika kita tidak memiliki alat ukur dalam membedakan mana
yang benar dan yang salah, ini sebagai penyebab yang membahayakan.
Seandainya kita mempunyai dua manuskrip, masing-masing mengandung
berikut ini: "Dia mencium perempuan dan kemudian melarikan
diri" dan
"Dia membunuh perempuan dan kemudian melarikan diri".
Sekarang dalam keadaan ketiadaan konteks yang kita jadikan indikasi,
untuk memutuskan yang benar menjadi sangat tidak mungkin: jelas sekali
kita menghadapi problem tekstual. Andaikan kemudian kita mempunyai
sepuluh manuskrip dengan mata rantai transmisi yang berbeda, sembilan
di antaranya memuat kalimat:
"Dia mencium perempuan, kemudian
melarikan diri" sedangkan yang kesepuluh memuat kalimat : "Gajah
perempuan kemudian dia melarikan diri" Selain tidak jelas, kalimat ini
juga bertentangan dengan sembilan manuskrip yang lain, yang semuanya
setuju pada makna yang masuk akal, jadi jelas membuang kata
gajah
menjadi satu-satunya jawaban
yang dapat
dipahami. Sama halnya dengan masalah manuskrip Al-Qur'an. Jika kita
pilih seratus Mushaf, yang berasal dari beberapa tempat dan
masing-masing memuat tulisan tangan dan tanggal yang berbeda, dan jika
keseluruhannya sama kecuali satu Mushaf lagi-lagi, jika kesalahannya
tidak masuk akal maka semua orang yang berakal akan menyifatkannya
keganjilan yang sebagai salah tulis.
Jeffery menuduh kaum Muslimin memalsukan kitab mereka sendiri,
Ketika kita membuka Al-Qur'an, kita menemukan bahwa manuskrip zaman
klasik tidak ada
yang mempunyai tanda huruf hidup (vowels)
dan semuanya ditulis dalam skrip Kufi yang sangat berbeda dengan skrip
yang dipakai pada naskah zaman kita sekarang. Memodernkan skrip dan
ortografi, dengan memberikan tanda huruf hidup dan tanda titik pada
teks, yang itu telah benar-benar terjadi, merupakan sesuatu yang
disengaja, akan tetapi usaha mereka itu melibatkan pemalsuan teks.
Itulah masalah kita sekarang.22
Dia melakukan perkara
yang bodoh dengan mengklaim bahwa yang terdahulu dinamakan Mushaf dan
ditulis dalam skrip Kufi, karena sebenarnya teks itu ditulis dalam
skrip Hejazi berbentuk miring sebagai mana terlihat pada gambar 7.1.23
Tambah lagi, dia mengakui skrip Kufi sangat berbeda dari skrip yang
digunakan hari ini, dan bahkan menganggap pembaruan skrip sebagai
bentuk pemalsuan. Andaikan saya menulis artikel seluruhnya dengan
tangan dan mengirimkannya kepada penerbit, haruskah saya anggap bahwa
dia bersalah karena memalsukan artikel saya ketika saya melihat
artikel saya dalam bentuk huruf Helvetika atau Time New Roman? Apakah
bahasa Arab dianggap bahasa mati, seperti halnya huruf Hieroglyphic,
dan apakah AI-Qur'an sudah hilang beratus-ratus tahun, seperti Taurat,
lalu pemalsuan teks terjadi jauh ke belakang setelah itu; karena kita
coba berusaha meraba-raba membaca buku yang sudah lama hilang dalam
bentuk skrip yang tidak dapat dibaca, memaksakan sangkaan kita pada
keseluruhan teks. Kenyataannya, walaupun skrip Kufi masih dapat dibaca
hari ini, dan tradisi pengalihan (transmisi) Al-Qur'an secara lisan
telah menjiwai kaum Muslimin, menjadikan persoalan yang ada semakin
terang, maka Jeffery tidak mempunyai masalah lagi yang perlu
dipertahankan mati-matian.24
4.
Penyebab Kedua yang Mengakibatkan Banyak (Multiple) Bacaan (varian,
Beragam)
Dalam pengumpulan
materi untuk keperluan penelitian ini, Jeffery menggunakan metodologi
orientalis
dan menolak cara kritis kaum Muslimin dalam
menganalisis isnad.25 Dia menjelaskan kriterianya:
Dan orang-orang yang
dianalisis, metode mereka adalah untuk mengumpulkan semua pendapat,
spekulasi, asas praduga, dan kecenderungan untuk menyimpulkan melalui
pemilihan clan penemuan yang sesuai dengan tempat, waktu, dan kondisi
pada waktu mengambil pertimbangan teks tanpa menghiraukan mata rantai
riwayat. Untuk membangun teks Taurat dan Injil sama caranya dengan
pembuatan teks puisi Homer atau
surat
Aristotle, yang ahli filsafat.26
Sudah tentu kita tidak
dapat mengembalikan masa lampau, tetapi kita dapat mengingat sebagian
yang ada
melalui sistem persaksian dan pertimbangannya. Menurut metodologi
penelitian dan pendirian ilmuwan Muslim, sangat tidak jujur dalam
masalah saksi, jika menempatkan persaksian orang-orang jujur dan
amanah sejajar tingkatannya dengan pembohong. Tetapi metodologi
Jeffery memberikan pengakuan anggapan pembohong sama seperti seorang
yang jujur;27
Selama tujuan mereka terlaksana, dia dan teman penyokongnya menerima
material yang berbeda-beda seperti yang dituduhkan kepada tulisan Ibn
Mas'ud atau siapa saja, terlepas sumber yang ada dapat dipercaya atau
tidak, dan memandang rendah kekayaan bacaan yang begitu terkenal.
Dia beralasan bahwa
selain dari tidak ada tanda titik
(yang saya telah
menjawabnya), perbedaan juga muncul karena beberapa pembaca
menggunakan teks yang bertanggalkan sebelum Mushaf 'Uthmani, yang
kebetulan berbeda dengan kerangka 'Uthmani dan yang tidak dimusnahkan
walaupun ada perintah dari khalifah.28
Tetapi anggapan ini dibesar-besarkan tanpa
ada bukti yang kukuh. Contohnya, koleksi Jeffery tentang varian dari
Mushaf Ibn Mas'ud
dianggap tidak sah karena sejak awal lagi tidak ada
satu pun
dalam daftar bacaannya yang menyebut Mushaf Ibn Mas'ud. Kebanyakan
bukti yang ada hanya menyatakan bahwa Ibn Mas'ud menyebut ayat ini
dengan cara begitu tanpa ada bukti mata rantai riwayat. Ini tidak
lebih dari cerita omong kosong, sekadar kabar burung dan supaya dia
dapat meningkatkan anggapan yang bernilai murahan sebagai argumentasi
melawan bacaan yang terbukti betul guna membantah metode yang
membedakan antara periwayat yang jujur dan yang gadungan.29
Tuduhan Jeffery
melebar tidak hanya Mushaf Ibn Mas'ud,
oleh karena itu saya di sini akan menjawab dengan ringkas tentang
riwayat yang salah yang menyatakan bahwa Khalifah 'Ali membaca satu
ayat yang bertentangan dengan Mushaf 'Uthmanl. Bacaan: (menambahkan
dua kata pada ayat 103:1).30
Pengarang buku al-Mabani31
mengecam bahwa riwayat ini ada tiga kesalahan:
-
'Asim bin Abi an-Najud,
salah seorang mahasiswa cemerlang as-Sulami, yang kemudian jadi
salah seorang mahasiswa 'Ali yang dihormati, mengaitkan bahwa 'Ali
membaca ayat ini sama seperti yang ada di Mushaf 'Uthmani.
-
'Ali menjadi khalifah
setelah terbunuhnya 'Uthman. Apakah dia percaya bahwa pendahulunya
bersalah karena menghilangkan kata-kata terterrtu, tentunya ini
merupakan kewajiban 'Ali untuk membetulkan kesalahannya. Jika tidak
maka akan dituduh mengkhianati kepercayaannya.
-
Usaha 'Uthman
mendapatkan dukungan dari seluruh umat Muslim; 'Ali sendiri berkata
bahwa tidak ada seorang pun yang bersuara menentang, dan kalau dia
merasa tidak suka, tentu ia naik pitam.32
Pandangan ini hanya
satu dari beribu pandangan dari sahabat Nabi Muhammad
yang bersemangat
menyaksikan pecahan Al-Qur'an tua, sebagaimana kuatnya kesaksian
mereka waktu menyetujui keutuhan naskah Al-Qur'an. Tidak ada tambahan,
pengurangan, maupun penyelewengan. Siapa saja yang menolak pendapat
ini dan mencoba untuk membawa barang baru, mengklaim ini adalah teks
sebelum 'Uthmani yang disukai oleh sahabat ini atau itu, adalah fitnah
buat para sahabat yang sangat kuat imannya. Ibn Mas'ud sendiri,
pengarang al-Masahif dan yang melengkapi bermacam-macam qira'at yang
tidak sama dengan teks `Uthmani, menolak untuk mengategorikan nilai
mereka seperti
Al-Qur'an. Dia berkata, "Kita tidak mengakui bacaan Al-Qur'an kecuali
membaca apa yang tertulis dalam Mushaf `Uthmani. Jika ada seseorang
yang membaca sesuatu yang bertentangan dengan Mushaf ini dalam shalat,
maka saya akan menyuruh agar mengulang shalat kembali."33
Tahap pembentukan
Perjanjian
Lama dan Perjanjian Baru terjadi dalam waktu yang penuh
perubahan, keadaan politik waktu itu menjadikan dua teks benar-benar
acak-acakan. Upaya meniru secara tepat tentang perilaku kejahatan ini
ke dalam teks Al-Qur'an, ilmuwan Barat melihat semua bukti umat Islam
dengan penuh prasangka selagi Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru
penuh dengan keraguan di dalamnya.34 Sedang rasa
was-was terhadap kebenaran pada variasi materi yang menghantui
pikiran Jeffery, namun demikian dia tidak pernah mencantumkan dalam
bukunya.
Beberapa varian
kelihatannya tidak mungkin terjadi secara bahasa... Beberapa kalangan
berusaha memberikan kesan bahwa perbedaan ini merupakan kelanjutan
hasil ciptaan para ahli ilmu bahasa (philologers)... Hanya saja,
sebagian besar menganggap suatu kelanjutan kehidupan hakiki sejak
sebelum zaman teks 'Uthmani, kendati hanya setelah melewati pencarian
kajian kritis keilmuan
modern ... apakah kita mesti bebas menggunakannya dalam
rekonstruksi yang dituju tentang sejarah teks Al-Qur' an.35
Jasa ini dan pencarian
kritis terhadap keilmuan
modern yang dilakukan Jeffery,
sayangnya, tidak lebih dari slogan gaya
baru yang tak berarti.
5.
Mengubab Sebuah Kata Karena Kesamaannya dalam Waktu Membaca
Goldziher, Blachere
dan yang
lainnya menganggap bahwa di zaman masyarakat Muslim terdahulu,
mengubah sebuah kata dalam ayat Al-Qur' an untuk mencari kesamaan
adalah sangat dibolehkan.36 Alasan yang melandasi anggapan mereka ada
dua faktor:
-
At-Tabari melaporkan
melalui `Umar bahwa Nabi
berkata,
"Oh 'Umar, semua AI-Qur'an adalah betul (contohnya
AI-Qur'an akan tetap sah walau secara tak sengaja anda terlewat dari
ayat ke ayat yang lain), kecuali anda tak sengaja tergelincir dari
satu ayat yang mendukung rahmat Allah pada seseorang mengabarkan
tentang murka-Nya, atau sebaliknya".37
Hadith ini membuktikan dirinya sebagai dasar
yang kuat
membolehkan khayalan aktif imaginasi bagi mereka yang tetap
memaksakan pendapat bahwa persamaan kata dapat dipakai sebebas
mungkin selama ruh kata-kata itu tetap dipertahankan. Adakah masalah
seperti ini pernah terjadi? Kita tahu dari hukum perjanjian kita
bahwa tidak ada seorang pengarang yang akan memberi persetujuan
mengganti kalimatnya dengan kata-kata persamaan (synonyms), walaupun
kata-kata itu dipilih secara teliti. Dalam masalah Al-Qur'an, yang
bukan buatan penduduk bumi ini, Nabi Muhammad saw. sendiri tidak
memiliki wewenang mengubah ayat-ayatnya. Jadi bagaimana mungkin ia
akan membolehkan orang lain melakukannya?38 Jika
seseorang salah mengutip pekerja kantor secara tak sengaja, mungkin
pengaruhnya sangat kecil, tetapi salah kutip seorang hakim akan
dapat menghasut sikap bertolak belakang yang lebih besar; lantas
bagaimana jika seseorang dengan sengaja salah dalam mengutip Kitab
Allah?
Seseorang
yang sudah
biasa membaca dari hapalan tahu persis bagaimana otak akan mudah
tergelincir, lompat ke surah lain dan setengahnya lagi ditinggalkan
sedangkan la sendiri tidak begitu sadar. Karena merasa takut akan
membuat kesalahan seperti ini, orang-orang memilih untuk tidak
membaca seluruhnya hanya dari hafalan saja. Walaupun Nabi Muhammad
selalu menganjurkan sahabatnya untuk menghafal dan membaca sebanyak
mungkin, pernyataannya sangat menolong atau meringankan rasa
kecemasan yang dirasakan oleh masyarakat dalam hal ini.
-
Alasan kedua yang
melandasi anggapan para orientalis ini adalah, di dalam banyak hal,
qira'at Ibn Mas'ud dan yang lainnya dibumbui ulasan tafsir (
)
Al-Bukhari mendokumentasikan seperti berikut ini:
Nafi
meriwayatkan, "Apabila Ibn 'Umar membaca Al-Qur'an dia tak akan
ngomong dengan siapa
pun sampai dia selesai membacanya. Suatu ketika saya
memegang AI-Qur'an saat ia membaca Surah al-Baqarah melalui
hafalannya; tiba-tiba dia berhenti pada ayat tertentu dan bertanya,
"Tahukah anda, dalam keadaan apa ayat ini telah diturunkan?" Saya
menjawab, "Tidak". Dia berkata, "Ayat ini diturunkan dalam keadaan
ini dan itu." Lalu ia meneruskan bacaannya.39
Dari sini kita dapat
menyimpulkan bahwa beberapa ilmuwan mengajukan catatan penjelasan pada
pendengarnya sewaktu ia membacakan Al-Qur'an.40 Ini
tidak dapat kita dianggap sebagai
variant reading (bacaan
yang berbeda-beda) yang sah dan tidak pula dapat menganggapnya sebagai
bagian dari Al-Qur'an. Beberapa kalangan Orientalis menyatakan bahwa
ilmuwan ini bermaksud mengembangkan teks Al-Qur'an; anggapan seperti
ini adalah sebagai hinaan terhadap tuhan, menyindir secara tak
langsung bahwa sahabat merasa lebih pandai dari Allah yang Mahatahu
dan Mahabijaksana.
6. Kesimpulan
Setelah meneliti
hipotesis Jeffery dan Goldziher, dan menganggap bukti
yang tepat, tampaknya
tak ada cara lain kecuali meletakkan teori mereka ke pinggiran.
Perbedaan yang mereka prediksi sekarang telah diketahui, dalam contoh
yang banyak (tidak terkira) di mana sebuah kerangka huruf dapat
menerima lebih dari satu set tanda titik dan diakritikal sesuai
dengan konteksnya; masalah yang jarang terjadi di mana perbedaan yang
diakui dalam qira'at tidak akan membawa pengaruh terhadap makna teks.41
Goldziher sendiri mengakui ini,42
sebagaimana pula
Margoliouth:
Dalam banyak masalah
ketidakjelasan skrip
yang mengakibatkan bacaan ragam bacaan sangat sedikit
sekali konsekuensinya.43
Keinginan mereka untuk
membuktikan adanya kerusakan teks Al-Qur'an dengan Perjanjian
Lama (PL) dan
Perjanjian Baru (PB), para orientalis tidak menghiraukan kondisi
politik agama (religio political condition) negara Muslim yang baru
lahir, dan bagaimana berbeda dari krisis yang menimpa masyarakat
Yahudi-Kristen pada awal pertumbuhannya. Perbedaannya sebenarnya
sangat jauh sekali dan tidak lebih menarik seperti seorang anak jelas
keturunannya dibandingkan dengan seorang anak yang diabaikan sebelum
jadi yatim piatu, dan yang ironisnya adalah cara menentukan orang tua
anak yang jelas keturunannya, menggunakan prosedur yang telah
ditentukan untuk anak yang diabaikan. Saya telah berusaha menunjukkan
kesalahan dalam logika orientalis tetapi, sebagaimana pengalaman telah
mengajarkan saya,44
saya hanya berharap bahwa semua
observasi ini tidak sekaligus diabaikan oleh kelompok mereka. Di sini
saya hanya menunjukkan kesalahan pendekatan mereka, tetapi saya sangat
sadar bahwa debat kusir seperti ini di mana pun harus ada ujungnya;
kalau tidak ilmuwan Muslim akan terus sibuk perang tulisan yang tidak
akan ada habisnya.
Bagi
Muslim yang saleh tidak ragu-ragu lagi bahwa Allah berjanji
akan memelihara Kitab-Nya, tidak akan memilih bahasa atau skrip yang
lemah guna menyampaikan wahyu-Nya yang terakhir. Dalam kapasitas
sastra, ekspresi yang mendalam,
gaya puitis, tulisan ejaannya bahasa
Arab
adalah bahasa yang cukup maju yang telah diberkati dan pilihan Allah
melebihi bahasa-bahasa lain. Oleh karena itu, ini merupakan
keistimewaan bagi masyarakat Muslim untuk terus membaca dalam
bentuknya yang asli, dan memasukkan tanda-tanda ke dalamnya adalah
sebuah usaha agar orang non-Arab juga mampu membaca yang asli secara
mudah.
Sudah
lama saya menyinggung
tentang metodologi Islam dan peranannya yang penting dalam memelihara
seni baca Al-Qur'an dan Sunnah Nabi Muhammad
agar bebas dari pemalsuan dari abad ke abad. Penelitian tentang
metodologi ini secara terperinci akan dibahas dalam bab berikutnya.
1. Lihat hlm 272 dan hlm.
320-23.
2. Untuk diskusi tentang teks
seperti di atas, tidak ada titik, yang mengakibatkan kerusakan
dan kapan tidak mengakibatkan, lihat kembali bagian 3 dalam bab
ini.
3. Al-Bukhari,
Sahih, Fada'il Al-Our'an:
5.
4. Muslim,
Sahih, Musafirin,
hadith no. 205.
5. Ibn Shanbudh (meninggal
328 Hijrah). Lihat buku ini hlm. 222-3.
6. Sebagaimana disebutkan pada
hlm. 118-120, Jual beli Mushaf muncul pada pertengahan abad
pertama hijrah. Cara pendidikan Islam adalah untuk mendidik
murid-murid mendapatkan skill literasi (kemampuan membaca
dan menulis), kemudian diikuti dengan membaca kitab suci
Al-Qur'an dari awal sampai akhir di bawah bimbingan yang benar.
Al-Qur'an adalah buku pertama yang mereka pelajari dan kalau
selesai sudah pasti mereka telah mcnguasai bahasa Arab.
Kebiasaannya setelah itu mercka memerlukan naskah Mushaf pribadi,
baik untuk mengulang kaji hafalan mereka atau untuk digunakan
mengajar yang lain, dan oleh karena itu pembeli Mushaf dari
pasar setempat telah pintar dalam seni bacaan (qira'at), dan
sudah kenal dengan surah di dalamnya sejak hari persekolahan
mereka. Sayangnya, hanya baru-baru saja Al-Qur' an digunakan
sebagai alat bantu pengajaran dan agak sedikit santai.
7. Ibn Mujahid, Kitab as-Sab`ah,
hlm. 71.
8. Lihat Arthur Jeffery (ed.)
Muqaddimatan fi `ulum Al-Qur'an (Dua pendahuluan
kepada ilmu-ilmu Al-Qur'an), Kairo, 1954, hlm. 276.
Sangat penting untuk dicatat bahwa sebelum kepada Ibn Mujahid,
sekitar empat puluh buku telah ditulis tentang subjek ini (Dr.
`Abdul Hadi al-Fadli, Qira'at Ibn Kathir wa Atharuha
fi ad-Dirasat an-Nahawiyyah (Ph.D. Thesis),
Universitas Kairo, 1975, hlm. 60-65, sebagaimana dikutip oleh
Ghanim Qadduri, Rasm al-Mushaf, hlm. 659)
9. Muslim, Sahih,
Kitab as-Salat, hadith no. 1789, diterjemahkan ke dalam bahasa
Inggris oleh A.Siddiqi' dengan beberapa perubahan'.
10. lbn Hanbal, Musnad,
v:132, hadith no. 21242.
11. Lihat as-Suyuti,
al-Itqan, i: 131 -141.
12.
As-Suyuti, al-Itqan, i: 211.
13. A. Jeffery, Materials for
the History of the Text of the Qur'an, E.J. Brill, Leiden,
1937. Saya mungkin menambahkan bahwa Jeffery menggunakan jargon
Judeo-Christian dalam menyusun arsip ini, "Canonization by Ibn
Mujahid," hlm. 11; "Muslim Massora," hlm. 3, 5 (catatan kaki);
dan menggunakan t untuk mcnunjukkan mati dan bukan disalib
seperti jiwa kristus yang kerdil!) hlm. 14, dst.
14. A. Jeffery, "The Textual
History of the Qui an", in A Jeffcry, The Qur'an as Scripture, R.F. Moore Co., New York, 1952, hlm. 97.
15. 'Abdul-Halim Najjar,
Madhahib at-Tafsiral-Islami, Kairo, 1955, hlm. 9-16. Ini
terjemahan bahasa Arab bukunya Goldziher.
16. Qur'an 7:48. Ini contoh
yang. salah, lihat Ibn Mujahid, Kitab as-Sab'ah, hlm.
281-2.
17. Qur'an 4:94.
18.
Qur'an 7:57.
19. Masyarakat Muslim tidak ada
masalah dengan isnad atau riwayat ketika menghafal Al-Qur'an,
karena ini tidak praktis dan tidak perlu untuk orang biasa
setelah kita tahu bahwa Al-Qur'an ada di mana-mana di setiap
rumah dan setiap mulut. Bagaimanapun pembaca yang professional
dan Ilmuwan mengikuti isnads, sebagai penjaga yang dipercayai
untuk memastikan bahwa teks yang sampai pada masyarakat adalah
tepat dan tidak ada kerusakan. Saya juga sama, walaupun menulis
pada abad 15 H. / 21 M., saya bisa memberikan isnad untuk bacaan
Al-Qur'an.
20. Ilmuwan yang meneliti
naskah resmi Mushaf 'Uthmani, mencatat perbedaan hanya empat
puluh karakter; ini berdasarkan pada perbedaan dalam kerangka
itu sendiri. Satu ribu macam bacaan menurut Ibn Mujahid itu
dikarenakan perbedaan dalam meletakkan tanda titik dan tanda
pada kata-kata tertentu, selain dari perbedaan kerangka huruf.
21. Untuk kajian yang lebih
detail tentang topik ini, lihat 'Abdul-Fattah al-Qadi, "al-Qira'at
fi Nazar al-Mustashriqin wa al-Mulhidin", Majallai al-Azhar,
Ramadan 1390/1970 dan seterusnya.
22. A. Jeffery, "The Textual
History of the Qur'an", in A. Jeffery, The Qur'an as Scripture, hlm.
89-90.
23. Skrip Kuf telah terkenal
setelah itu, pada pertengahan abad pertama Hijrah. Lihat
inskripsi Kufi dalam gambar 9.12-9.14 (masing-masing
bertanggalkan 40, 80 dan 84 Hijrah).
24. Di sini kita bisa
menyebutkan bahasa kebanyakan odentalis percaya pada skrip
perjanjian lama, walaupun skrip Hebrew sudah diubah dua kali dan
tanda diakritikal tidak diberikan pada teks konsonan sehingga
abad 10 Masehi, jarab waktu 25 abad. Sudah pasti kesenjangan
yang lama ini telah memberikan pengaruh yang tidak bisa
dibetulkan pada teks Hebrew yang digunakan sekarang. (lihat buku
ini hlm. 238-56).
25. Rantai saksi yang terlibat
dalam periwayatan kejadian. Lihat bab yang akan datang.
26. Lihat Arthur Jeffery (ed)
al Masahif, Pendahuluan (dalam bahasa Arab), hlm..4
27. Kasus ini sama dengan kasus
seseorang yang memiliki sebuah rumah sejak beberapa generasi dan
mempunyai bukti yang diperlukan untuk mendukung klaimnya,
tiba-tiba suatu waktu ada orang yang kelihatannya asing tidak
tahu dari mana ia datang mengklaim bahwa rumah itu kepunyaannya.
Dengan menggunakan metodologi Jeffery kita harus menerima klaim
orang asing itu dan mengusir orang yang tinggal di rumah sebab
cerita si orang asing ini salah, sensasi dan bertentangan dengan
perkataan semua orang.
28. Lihat Jeffery (ed.), al-Masahif,
Pendahuluan, hlm. 7-8
29. Mushaf Ibn Mas'ud, dan
Analisis Jeffery adalah topik yang sangat penting. Oleh karena
itu, saya diskusikan dengan panjang lebar di bab 13.
30. A. Jeffery, Materials,
hlm. 192
31. A. Jeffery (ed.) ,
Muqaddimatan, hlm. 103-104
32
Lihat buku ini hlm.
106.
33. lbn Abi Dawud, al-Masahif, hlm. 53-54.
34. Baru-baru ini saya membaca kembali jilid luar karangan
Juynboll, Muslim Tradition, yang gambar luarnya diambil dari
manuskrip Arab tertua tentang dokumen yang ditulis di atas
kertas. Catatan itu dibaca (ditegaskan oleh penulis), "Manuskrip
ini telah dituduhkan ditulis pada tahun 252 H. / 866 M." Berapa
kali kita bisa mengharapkan untuk melihat yang sama pada
Perjanjian Lama dan Baru atau literature yang lainnya?
35. A, Jeffery, Materials, pendahuluan, hlm. x,
Lebih menekankan.
36. R, glachere, Introduction au Coran, 1947, hlm. 69-70; lihat
juga 'Abdus-Sabnr Shahin, Tarikh Al-Qur'an, hlm. 84-85.
37. At-Tabari, Tafsir, i:13
38. Qur'an 10:15: "Dan apabila dibacakan kepada
mereka ayat-ayat Kami yang nyata, orang- orang yang tidak
mengharapkan pertemuan dengan Kami berkata, "Datangkanlah
Al-Qur'an yang lain dari ini atau gantilah dia." Katakanlah (oh
Muhammad), "Tidaklah patut bagiku menggantinya dari pihak diriku
sendiri. Aku tidak mengikuti kecuali apa yang diwahyukan
kepadaku. Sesungguhnya aku takut jika mendurhakai tuhanku kepada
siksa hari yang besar (Kiamat)."
39. Al-Bukhari, Sahih, vi:38, hadith no. 50.
40. 'Abdus-Sabur Shahin, Tarikh Al-Qur'an, hlm.
15-16. Di sini Golziher mengakui bahwa beberapa tambahan adalah
merupakan tafsir (penjelasannya).
41. Sangat jauh berbeda dengan perbedaan yang terdapat di Injil
yang ditemukan dalam manuskrip, seperti Yohanes 1:18 ( Yang
hanya satu satunya, Tuhan" dan "Yang hanya mempunyai satu anak"),
yang mengandung dunia yang berbeda. Dan menurut P.W. Comfort,
terjemahan literal adalah "satu Tuhan yang unik' (Early
Manuscript & Modern Translations of the New Testament,
Baker Books, 1990, hlm. 105. Untuk lebih detailnya lihat diskusi
tentang manuskrip hlm. 75 (Bodmer Papyrus xiv-xv) dalam hlm.
286-7.
42. 'Abdul-Halim Najjar, Madhahib at-Tafsir al-lslami,
hlm. 12-13.
43. D.S. Margoliouth, "Textual Variations," The Moslem
World, Oktober, 1925. Vol. 14 no. 4, hlm. 340.
44. Kebanyakkan
karya saya terdahulu, seperti Studies in Early Hadith
Literature, Kritikan saya terhadap Goldziher dan On
Schacht's Origin of Muhammadan Jurisprudence (sebuah karya
untuk menolak Schacht) adalah semua merupakan buku-buku akademik
yang serius yang Prof. John Burton memberikan label sebagai
"Islamic perspective' (An Introduction to the Hadith,
Edinburgh Univ. Press, 1994, hlm. 206) dan yang telah
diabaikan dalam lingkungan akademik.
|
|